Senin, 6 Oktober 2025

Pemilu 2024

Azyumardi Azra: Poros Islam Sulit Terealisasi di 2024, ada 4 Alasannya

Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menilai sulit terealisasi poros Islam di kontestasi Pemilu 2024.

Editor: Johnson Simanjuntak
Ist
Prof Dr Azyumardi Azra (Pemerhati Politik Islam/Mantan Rektor UIN Jakarta ) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menilai sulit terealisasi poros Islam di kontestasi Pemilu 2024.

Sejauh ini ada dua partai politik berbasis agama Islam di Indonesia, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Susah walaupun sama-sama berbasis islam antara PKS dengan PPP,” ujar Pemerhati Politik Islam ini dalam Diskusi  Virtual Moya Institute ‘Prospek Poros Islam dalam Konstestasi 2021, Jumat (7/5/2021).

Paling tidak menurut dia, ada empat alasan poros Islam sulit terealisasi.

Pertama, adanya konstestasi di partai-partai Islam itu sendiri, sehingga koalisi poros Islam itu hanya akan sebatas wacana.

“Kontestasi di antara partai-partai Islam itu sendiri. Walaupun sama-sama berbasis Islam antara PKS dengan PPP itu susah, nggak mudah. Mungkin PPP itu lebih senang bekerjasama dengan PDIP daripada PKS, misalnya,” jelasnya.

Kedua, kata dia, budaya politik (political culture) masyarakat Islam di Indonesia yang tidak kondusif untuk partai Islam. Karenanya meskipun mayoritas beragama Islam, itu tidak jadi jaminan besarnya dukungan kepada partai Islam.

“Ini mungkin terkait dengan distingsi Islam Indonesia itu yang prinsipnya itu fleksibel dan pokoknya bagaimana nanti saja. Walaupun berbagai penelitian menunjukkan Keislaman meningkat, kesalahen individualnya itu meningkat.”

“Saya sering mengkritik kesalehan itu meningkat tapi itu tidak diterjemahkan kepada keadaban publik. Sangat disayangkan kesalehan itu tidak diterjemahkan, tidak diaktualisasikan ke dalam sikap politik, walaupun kemudian pengamat asing melihat ‘Wah ini kalau semakin banyak yang pakai jilbab, maka kemudian ini partai islam akan menang.’ Tetapi seperti begitu kenyataannya,” ucapnya.

Baca juga: Pengamat: Pembentukan Poros Islam Buat Polarisasi Politik Makin Kuat

Ketiga adalah tidak adanya sosok pemimpin Islam yang kuat dari kalangan santri dan bisa diterima dan diusung oleh partai-partai Islam di Indonesia. “Jadi ini harus ditemukan,” tegasnya.

Terakhir kata dia, hegemoni partai-partai berbasis Pancasila.

Berbagai survei, kata dia, masih menunjukkan Partai-Partai berbasis Pancasila masih bercokol di posisi teratas, seperti PDIP, Golkar dan Gerindra.

“Ini juga jadi masalahnya, apakah bisa menantang hegemoninya ini.  Karena dengan hegemoninya yang besar itu kemudian sulit bagi partai-partai Islam atau partai-partai santri ini untuk bisa berkiprah lebih leluasa. Itu susah,” jelasnya.

Anis Matta: Poros Islam Hanya Akan Buat Rakyat Kian Terbelah

Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menegaskan koalisi poros Islam hanya akan membuat masyarakat semakin terbelah. Pembentukan poros tengah pada periode awal reformasi menjadi satu pengalaman pembelajaran berarti.

“Menurut saya ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekedar ide koalisi poros Islam. Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat,” ujar mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini dalam Diskusi  Virtual Moya Institute ‘Prospek Poros Islam dalam Konstestasi 2021, Jumat (7/5/2021).

Memang, Anis Matta katakan, dalam sejarah pernah terbentuk poros tengah pada masa reformasi dengan salah satu hasilnya adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden.

Namun konsolidasi politik poros tengah itu juga lah akhirnya menurunkan Gus Dur dari Presiden.

“Cara kita merespon dengan mengusulkan ide pembentukan poros Islam ini hanya akan membuat kita masuk dalam konfrontasi yang merusak bangunan rumah besar keluarga Indonesia,” ucap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

“Itu sebabnya saya melihat, kenapa misalnya, pengalaman pembentukan poros tengah itu sukses menghadirkan presiden tetapi pada dasarnya tidak sukses membawa arah baru bagi Indonesia. Tetapi sebagai konsolidasi politik pada waktu itu sukses, cuma kan pada akhirnya poros yang sama juga yang kemudian menurunkan Gus Dur,” jelas Anis Matta

Dia menegaskan konsolidasi politik hanya akan berhenti begitu sampai pada hasil politik (output).

Tetapi jika perjalanan output politik tidak bagus untuk semua, maka, tegas dia, konsolidasi politik itu akan bubar.

“Model koalisi seperti ini yang berbasis pada pengelompokan lama ini sangat tidak produktif bagi masa depan,” ujarnya.

Bercermin pada pengalaman masa lalu, menurut dia, elite seharusnya menyatukan masyarakat seperti saat semua masyarakat Indonesia bersatu menjelang kemerdekaan dulu.

“Sekarang yang diperlukan adalah  blending politik baru yang berbasis pada pendalaman pada arah baru bagi negara kita. Saya ingin menyebut ini sebagai arah sejarah baru. Kira-kira situasinya seperti situasi yang kita hadapi menjelang kemerdekaan, kita perlu satu kata yang menyatukan kita semuanya, seperti dulu namanya merdeka,” tegasnya.

“Yang kita perlukan sekarang ini adalah perjuangan semodel menjelang kita merdeka, dimana kita membutuhkan ide-ide yang genuine, ide-ide yang original yang menentukan peta jalan sejarah kita menuju satu titik yang sama pada waktu itu merdeka,” jelasnya.

Wacana pembentukan poros partai Islam mencuat saat pertemuan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, pertengahan April lalu. Sejumlah partai berhaluan Islam pun turut diajak bergabung. Jika mewujud, koalisi ini berpotensi menjadi poros kekuatan baru di tengah dominasi polarisasi politik yang ada saat ini.

Dalam pertemuan kedua partai, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa sepakat membangun kerja sama dalam peta lingkaran kekuatan politik partai.

Pertemuan keduanya direspons positif oleh Partai Bulan Bintang (PBB) yang menganggap hal ini merupakan momentum tepat untuk membangun kekuatan politik berbasis partai Islam menjelang konstelasi politik pada 2024.

Seturut dengan PBB, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun sama terbukanya menyambut baik adanya pembentukan poros partai Islam ini, bahkan partai berlambang sembilan bintang dan bola dunia ini telah menyatakan kesiapannya untuk turut andil besar dalam mendukung pembentukan poros koalisi tersebut.

Di tengah dukungan yang menguat, Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai yang juga berbasis pada konstituen Islam justru bersikap sebaliknya. Partai yang kelahirannya dekat dengan pemilih di kalangan Muhammadiyah ini memandang poros koalisi partai Islam tak sejalan dengan semangat rekonsiliasi nasional yang saat ini terus digaungkan pascapolarisasi hebat yang terjadi pada Pemilu 2019.

PAN mengkhawatirkan hadirnya poros baru ini hanya akan memantik kembali isu SARA dan perpecahan di tengah masyarakat.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved