Minggu, 5 Oktober 2025

Bersaksi di Sidang Kasus Jumhur Hidayat, Ketua Umum Apindo Ditanya Keuntungan UU Ciptaker

Hariyadi menjawab tak tahu menahu cuitan tersebut dimaksudkan untuk pihak mana.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasanudin Aco
Adiatmaputra Fajar
Ketua APINDO Haryadi Sukamdani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara penyebaran berita bohong dan buat onar, dengan terdakwa pentolan KAMI Jumhur Hidayat, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (22/3/2021). 

Dalam kesaksiannya di persidangan, Hariyadi mengatakan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja memberi keuntungan bukan cuma bagi pengusaha, tapi juga para pekerja.

Apindo kata dia, juga disebut terlibat dalam perumusan aturan tersebut.

"Ada tidak keuntungan yang diperoleh Apindo terhadap Undang-Undang Cipta Kerja?" tanya jaksa di persidangan.

"Bahwa UU Cipta Kerja itu sebetulnya memberi manfaat bukan hanya untuk pengusaha, tapi pekerja. Dalam pembahasan itu juga, melibatkan kami perwakilan pengusaha. Hadir dari Kadin dan Apindo," jawab Hariyadi.

Baca juga: Kuasa Hukum Beberkan Kondisi Kesehatan Jumhur di Rutan Bareskrim

Terkait pernyataan Hariyadi, jaksa kembali bertanya cuitan Jumhur yang menyebut UU Ciptaker adalah hanya untuk pengusaha rakus dan investor primitif.

Jaksa bertanya cuitan itu ditujukan ke siapa.

Hariyadi menjawab tak tahu menahu cuitan tersebut dimaksudkan untuk pihak mana.

Sebab Jumhur dalam cuitannya tidak spesifik menyebut pihak tertentu.

"Terkait postingan terdakwa, siapa yang dimaksud pengusaha rakus?" tanya JPU.

"Saya tidak tahu, saya bilang tidak tahu karena tidak spesifik menyebut siapa," jawab Hariyadi.

Jumhur Hidayat Didakwa

Jaksa Penuntut Umum mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.

Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah.

Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.

"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.

Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020.

Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah". 

Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".

Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif.

Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved