Gubernur Lemhannas: AS dan Myanmar Contoh Ekstrem Demokrasi
Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mencontohkan Amerika Serikat (AS) dan Myanmar sebagai contoh ekstrem tentang demokrasi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mencontohkan Amerika Serikat (AS) dan Myanmar sebagai contoh ekstrem tentang demokrasi.
Dinamika politik yang terjadi di dua negara tersebut membuktikan pengambilalihan kekuasaan melalui kekuatan militer adalah dalih yang kurang memberikan hasil untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Pada seminar Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik, Agus Widjojo mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi pilihan strategis rakyat Indonesia sejak reformasi.
Walaupun disadari bahwa demokrasi mengandung banyak kelemahan, namun tetap menjadi sistem terbaik di antara sistem yang ada.
“Untuk menegakkan kaidah kedaulatan kerakyatan, belum ada ditemukan sistem yang lebih baik dari demokrasi,” kata Gubernur Lemhannas RI itu dalam keterangannya, Kamis (11/2/2021)
Baca juga: Lemhanas: Tahun Depan Pemerintah Perlu Antisipasi Stunting dan Kurang Gizi pada Anak-anak
Agus Widjojo mengatakan sebetulnya pengerahan militer bukan hal yang dilarang, akan tetapi yang dikedepankan adalah prosedur.
Pengerahan militer dalam demokrasi bukan diukur dari baik dan buruknya, namun diukur dari legalitas dan konstitusionalitasnya.
Karena pengerahan militer dalam bidang apapun pasti ada lembaga fungsional yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
“Ini perlu menjadi perhatian, jangan lagi ada yang berpikir untuk menggunakan militer untuk memperbaiki keadaan betapapun argumen kita ketidaksukaan pada situasi yang berlaku,” tegas Agus.
“Masalah politik hendaknya diselesaikan secara politik atau hukum, tanpa campur tangan militer,” lanjutnya.
Baca juga: Batasi Akses Internet hingga Blokir Konten, RUU Cyber Pemerintah Militer Myanmar Dinilai Langgar HAM
Untuk meningkatkan daya saing bangsa, menurutnya Indonesia perlu membangun paradigma pendekatan whole of government.
Untuk membangun bangsa bagi kepentingan masa depan, yang perlu dipintarkan adalah bangsa secara keseluruhan untuk membangkitkan dan membangun daya saing dengan bangsa-bangsa di dunia.
“Awalnya, orang bertanya-tanya, apakah sistem demokrasi di Amerika bisa dijadikan model dan terus berlanjut. Kita lihat juga bagaimana Presiden Trump menyelenggarakan kekuasaan selama masa baktinya, juga sikap dan perilakunya ketika maju untuk Pilpres,” ujar Agus.
Baca juga: Penguasa Militer Myanmar Kembali Tangkap Orang Dekat Aung San Suu Kyi
Sementara itu Cecilia Sumarlin dari Komunitas Merah Putih menyebutkan bila kekuatan kandidat yang bukan berasal dari partai politik, baik eksekutif maupun legislatif ditakutkan bisa terjadi munculnya seorang Trump di Indonesia, menggunakan parpol yang sudah ada.
Menurutnya ke depan, Indonesia perlu mengimplementasikan integrated big data analitycs dalam membaca dan menganalisis perubahan historical data dari Pilkada, Pileg, dan Pilpres.
“Dengan dana politik yang kuat, seorang kandidat bisa menggunakan platform koalisasi beberapa partai untuk memajukan agendanya sendiri seperti Trump di Amerika yang menggunakan agenda pribadi bukan partai,” kata Cecilia.