Kepercayaan Publik Terhadap Ideologi Pancasila Turun 10% dalam 13 Tahun Terakhir, Ini Kata Pakar
Dosen PPKn UMM, Nurbani Yusuf, membeberkan terjadinya penurunan kepercayaan publik terhadap ideologi Pancasila.
TRIBUNNEWS.COM - Dosen PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nurbani Yusuf, membeberkan terjadinya penurunan kepercayaan publik terhadap ideologi Pancasila.
Hal tersebut ia paparkan dalam disertasinya berjudul Restorasi Ideologi Pancasila Dalam Pemikiran Tokoh Nasional (Studi Hermeneutika Fenomenologi Terhadap Ahmad Syafii Ma’arif, Yudi Latif, dan Yudian Wahyudi).
Bahkan Nurbani secara gamblang menyebut kepercayaan publik terhadap ideologi Pancasila sudah mengalami penurunan dalam 13 tahun terakhir ini.
"Pada tahun 2005 publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2%, tahun 2010 angkanya menurun menjadi 79,4%, tahun 2015 angkanya menjadi 79,4%, dan di tahun 2018 berada di angka 75,3%."
“Dalam waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila mengalami penurunan sebanyak 10%,” kata Nurbani kepada Tribunnews, Minggu (2/8/2020).
Terhadap persolan ini, Nurbani menggarisbawahi pentingnya menghidupkan kembali diskursus tentang Pancasila secara proporsional dan kontekstual dengan semangat zaman.
Baca: Sosialisasi 4 Pilar MPR di Nagekeo, Gus Jazil: Nilai Pancasila Sudah Diterapkan Masyarakat Flores
Lebih lanjut, Nurbani menjelaskan lebih rinci bagaimana implikasi yang diberikan para tokoh nasional terhadap ideologi Pancasila.
Ia menilai tokoh-tokoh nasional yang ditelitinya memiliki empat dimensi penting dalam membuat ideologi Pancasila dapat memelihara relevansinya di tengah perkembangan aspirasi masyarakat dan tuntutan perubahan zaman.
Dimensi tersebut yakni dimensi idealitas, dimensi fleksibelitas, dimensi realistas, dan dimensi relatif-spekulatif.
Nurbani menyebut dimensi idealitas maksudnya adalah suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sedangkan dimensi fleksibilitas mengacu pada ideologi yang demokratis, yang meletakkan kekuatannya pada keberhasilannya merangsang masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya.
“Melalui pemikiran-pemikiran baru tentang dirinya ideologi itu mempersegar dirinya, memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu."
"Dari situ kita barang kali dapat menyimpulkan bahwa suatu ideologi terbuka, karena bersifat demokratis, memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai dinamika internal yang mengundang dan merangsang mereka yang meyakininya untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang dirinya tanpa khawatir atau menaruh curiga akan kehilangan hakikat dirinya,” terang Nurbani.
Selanjutnya, dimensi realita maksudnya adalah ideologi itu memiliki nilai-nilai dasar yang bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup di dalam masyarakatnya, terutama pada waktu ideologi tersebut lahir.
Sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati, nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama.
"Adapun dimensi relatif-spekulatif merupakan intepretasi yang dilakukan oleh para tokoh berdasarkan hasil perenungan panjang dalam pengalamannya dalam rangka memberikan solusi atas pertanyaan-pertanyaan atau kegelisahan yang dihadapi oleh masyarakat pada ideologi yang telah disepakatinya," tegasnya.
Baca: Bamsoet Ingatkan Pancasila Harus Hadir Dalam Setiap Sendi Kehidupan
Pentingnya pemikiran restorasi ideologi menurut pemikiran tokoh nasional Pancasila

Nurbani menjelaskan implikasi pemikiran ketiga tokoh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memang menawarkan banyak alternatif pemikiran yang bukan saja baru tapi juga urgent dan substantif.
Pemikiaran yang syarat akan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
"Misal Ahmad Syafii Maarif dengan latar belakang ke Islamannya menggagas Darul Ahdi Wa Syahadah, yang kemudian dikemas dalam ideologi Syura."
"Yudi Latief dengan latar belakang kecendikiawanannya menggagas Pancasila sebagai Civic Religion."
"Yudian Wahyudi menawarkan ideologi partisipatif," urainya.
Baca: Pengarusutamaan Pancasila Belum Maksimal
Nurbani mengatakan berbagai pemikiran dan pandangan ini sangat penting untuk masa depan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Berbagai istilah yang digagas oleh ketiganya sebagai tokoh BPIP dalam memberikan implikasi hasil pemikirannya terhadap restorasi Ideologi Pancasila ini didasari oleh keadaan dimensi realitas yang berkembang.
Pengejawantahan yang diakukan oleh ketiga tokoh tersebut merupakan suatu bentuk pemikiran yang sistematis, metodis, dan valid dalam mengembangkan ideologi Pancasila agar dapat tetap relevan dengan kondisi dan tantangan zaman.
"Dengan tujuan agar ideologi Pancasila dapat terus membumi atau dapat di tarik ke bumi, sehingga Pancasila sebagai ideologi negara dapat benar-benar menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."
"Sehingga tujuan akhir yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat segera atau mengalami percepatan dalam laju gerak langkah negara ini," tandasnya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)