Selasa, 7 Oktober 2025

Virus Corona

Denny Indrayana: Presiden Tidak Bisa Diberhentikan karena Kebijakan Penanganan Covid-19

Denny menjelaskan sistem presidensial mempunyai ciri adanya mekanisme pemberhentian presiden.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
Lendy Ramadhan/Tribunnews.com
Kuasa Hukum pasangan nomor urut 02 Pilpres 2019, Denny Indrayana berikan keterangan mengenai argumen hukum yang digunakan dalam gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019, di sebuah kantor, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2019) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menyoroti wacana berkembang terkait pemberhentian terhadap presiden di era pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Menurut dia, presiden seharusnya tenang dan tidak perlu khawatir mudah dijatuhkan apalagi melalui mimbar-mimbar akademik, seperti diskusi mahasiswa.

Aturan pemberhentian terhadap Presiden diatur di Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan;

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Denny menjelaskan sistem presidensial mempunyai ciri adanya mekanisme pemberhentian presiden.

Legitimasi sistem presidensial lebih kokoh setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, kata dia, merujuk Pasal 7A UUD 1945 itu tidak mudah memberhentikan presiden. Sebab, ada unsur pelanggaran hukum pidana, etika, dan administrasi yang harus terlebih dahulu dilakukan oleh presiden.

"Yang menjadi diskusi apakah penanganan Covid tidak efektif, dianggap tidak perform menjadi pintu masuk impeachment kepada presiden. Tidak mudah pemberhentian presiden. Mekanisme pemberhentian presiden (menurut UUD 1945,-red) lebih yuridis dan tidak cenderung politis," kata dia.

Pernyataan itu disampaikan di sesi diskusi "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).

Webinar Nasional itu diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI).

Dia menjelaskan membuat kebijakan penanganan Pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan memberhentikan presiden. Namun, apakah pada saat membuat dan melaksanakan kebijakan itu ada pelanggaran yang dibuat sesuai aturan di Pasal 7A UUD 1945.

Baca: Pengunjuk Rasa Lempari Gedung Putih, Presiden Donald Trump Sembunyi di Bungker

"Kebijakan bukan alasan presiden dimakzulkan. Tetapi kalau penanganan misalnya ada korupsi dan korupsi menyangkut diri presiden tentu dengan bukti tidak terbantahkan itu bisa masuk. Persoalan bukan pada kebijakan, tetapi ada impeachment artikel yang dilanggar masuk dalam pemberhentian presiden," ujarnya.

Denny mengungkapkan proses pemberhentian presiden sudah diatur dan harus mengikuti prosedur di UUD 1945.

Pasal 7B UUD 1945 menjelaskan alur proses pemberhentian presiden. Melihat syarat-syarat itu, kata dia, posisi Joko Widodo dapat dibilang aman dari pemberhentian presiden.

"Syarat di DPR saja akan aman melihat koalisi Jokowi. Secara politis dengan komposisi dukungan partai koalisi yang relatif solid, peluang DPR melanjutkan proses pemakzulan ke MK agak sulit, kecuali ada dinamika politik," tuturnya.

Apabila terdapat ketidaksetujuan terhadap kebijakan presiden menangani Pandemi Covid-19, dia menyarankan, untuk tidak memberhentikan presiden di tengah jalan. Tetapi, dengan cara proses pemilihan umum.

"Kebijakan (pandemi Covid-19,-red) tidak bisa memberhentikan presiden. Kalau tidak setuju pilihan kebijakan bukan menghentikan di jalan, tetapi melalui proses pemilihan umum," tambahnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved