Wakil Ketua MPR Nilai RUU Haluan Ideologi Pancasila Bermasalah
Padahal RUU tersebut mencantumkan 8 TAP MPR lain sebagai dasar pembentukan RUU HIP
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bermasalah sejak awal.
Hal itu lantaran tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila, seperti TAP MPR yang sangat terkait langsung dengan haluan ideologi berbangsa dan bernegara.
Baca: Buntut Imam Tarawih Positif Corona, 9 Warga Tambora Dinyatakan Positif Covid-19
Yaitu TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan PKI sebagai Partai terlarang, dan melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Padahal RUU tersebut mencantumkan 8 TAP MPR lain sebagai dasar pembentukan RUU HIP, di mana TAP-TAP MPR tersebut tidak terkait langsung dan tak terhubung langsung dengan (pengokohan dan penyelamatan) haluan ideologi Pancasila.
"RUU HIP akan kehilangan rohnya apabila tidak mempertimbangkan sejarah pembentukan Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara, hingga mencapai kesepakatan final PPKI pada 18 Agustus 1945. Semuanya menyebut Sila Ketuhanan, dan tidak satupun yang menyebut sila atheisme apalagi Komunisme sebagai dasar/ideologi negara," katanya melalui keterangan tertulis, Jumat (15/5/2020).
"Tetapi sudah terjadi dua kali pemberontakan Partai Komunis Indonesia dengan ideologi komunismenya, untuk juga pada intinya mengubah Ideologi Negara yaitu Pancasila. Padahal sekarang kembali bermunculan fenomena penyebaran ideologi komunisme yang menjadi ancaman terhadap ideologi Pancasila," imbuhnya.
HNW, sapaan akrabnya, menyayangkan tidak dimasukannnya TAP MPRS tentang larangan ideologi komunisme sebagai dasar hukum RUU HIP.
Padahal TAP MPRS ini masih berlaku dan bahkan ada turunannya.
Beberapa di antaranya adalah ketentuan Pasal 107a sampai dengan Pasal 107e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 4 ayat (3) UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang menyebutkan secara spesifik bahwa komunisme sebagai salah satu bentuk ancaman bagi negara.
Dan Pasal 59 ayat (4) huruf c Jo. Pasal 82A ayat (2) UU Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang memuat larangan bagi Ormas menyebarkan ajaran atheisme, komunisme/marxisme-leninisme dan sanksi pidana bagi anggota Ormas yang melanggar larangan itu.
Anehnya, kata HNW, perancang RUU ini malah memasukkan 8 TAP MPR lainnya yang tak terkait langsung dengan ideologi Pancasila, diantaranya TAP MPR no VII/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, dan TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
"Ini aneh, ada delapan TAP MPR yang dijadikan dasar hukum pembentukan RUU HIP, padahal tak terkait langsung dengan ideologi Pancasila, tetapi ada TAP MPR yang sangat terkait dan menjaga ideologi Pancasila dari ideologi yang merongrongnya, yaitu komunisme, malah tidak dimasukkan," ujarnya.
"Kalau jujur, serius dan fokus ingin hadirkan UU HIP, dan untuk menghilangkan kecurigaan Rakyat dan Umat, maka kalau TAP-TAP MPR yang tak terkait langsung dengan Ideologi Pancasila saja dimasukkan sebagai dasar pembentukan, maka TAP MPR yang terkait langsung dengan penyelamatan haluan ideologi Pancasila yaitu TAP MPRS No 25/1966 lebih layak dimasukkan," lanjutnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menjelaskan pemilihan acuan hukum yang tepat sangat dibutuhkan dalam memahami dan melihat arah suatu pengaturan RUU.
"Inisiator dan penyusun RUU HIP sudah diingatkan oleh Anggota FPKS pada saat rapat-rapat di Badan Legislasi DPR, soal rasionalitas memasukan TAP MPRS tentang Larangan PKI dan Penyebaran Ideologi Komunis tersebut sejak dibahas di Badan Legislasi DPR RI," katanya
"Namun, hingga ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR, pada Rapat Paripurna DPR, usulan konstitusional itu tidak juga dimasukkan sebagai dasar hukum. Karenanya wajar bila FPKS menyampaikan penolakan RUU ini bila tidak memasukkan TAP MPRS no 25/1966," ucapnya.
HNW menambahkan, beberapa fraksi juga sudah menyatakan usulannya untuk dimasukkannya TAP MPRS No 25/1966.
Masalah ini pun sudah menjadi perhatian publik. Karenanya dan seharusnya RUU HIP juga perlu memasukan fenomena bermunculannya ajaran ideologi komunisme pasca reformasi sebagai pertimbangan sosiologis dalam konsiderans “mengingat” pada RUU tersebut.
"Ini salah satu urgensi dari lahirnya RUU HIP. Tetapi sayangnya, fenomena tersebut diabaikan dalam RUU ini. Sekalipun bila dibandingkan draft naskah awal RUU dengan draft RUU HIP yang dimajukan ke Rapat Paripurna, memang sudah ada perbaikan," ujarnya.
"Tetapi justru yang inti yaitu soal TAP MPRS yg mengawal Pancasila dari ideologi komunisme yang tak sesuai dengan Haluan Ideologi Pancasila, masih juga tidak dimasukkan," ujarnya.
HNW mengatakan dalam rangka hadirnya UU untuk Haluan Ideologi Pancasila yang baik, nantinya pembahasan antara DPR dan Pemerintah terhadap RUU HIP ini penting dikawal dan diawasi secara seksama dan bersama oleh semua komponen bangsa.
"Proses ini perlu diawasi secara bersama, agar RUU ini justru digunakan oleh sebagian kalangan untuk menegasikan ancaman komunisme dan mencoba mengebiri TAP MPRS Nomor 25/1966 yang masih berlaku sampai saat ini," kata HNW.
Baca: KPK Ingatkan Jokowi soal 6 Rekomendasi agar Iuran BPJS Kesehatan Tak Dinaikkan
Sebagai informasi, RUU HIP telah ditetapkan sebagai RUU Usul Inistiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 12 Mei 2020 lalu, dengan penolakan dari Fraksi PKS karena draf terakhir tidak memasukan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
RUU HIP tersebut rencananya akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah pada masa sidang DPR mendatang.