Komnas HAM Nilai Wacana Pelibatan TNI Atasi Terorisme Berpotensi Langgar HAM
Menurutnya rancangan Perpres tersebut tidak memuat secara rinci terkait kewenangan penangkalan TNI
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme yang tengah ramai dibincangkan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Dalam hal ini Anam di antaranya menyoroti kewenangan penangkalan dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang termuat dalam pertimbangan diterbitkannya Perpres tersebut.
Baca: Senjata Rakitan dan Panah Diamankan Densus 88 Dari 2 Rumah Terduga Teroris di Tasikmalaya
Menurutnya rancangan Perpres tersebut tidak memuat secara rinci terkait kewenangan penangkalan TNI.
Misalnya menurut Anam, kewenangan TNI dalam penangkalan dalam Perpres tersebut bersifat operasional dan tidak bersifat sementara atau ad hoc.
Padahal Undang-Undang terorisme yang menjadi acuan rancangan Perpres tersebut memuat batasan-batasan waktu dan akuntabilitas bagi penegak hukum dalam kegiatan-kegiatan misalnya batas waktu penyadapan dan penahanan.
Bahkan, pelanggaran atas batas waktu penahanan yang dilakukan oleh oenegak hukum tersebut pun bisa dibawa ke pengadilan.
Namun menurut Anam, hal tersebut tidak diatur dalam rancangan Perpres pelibatan TNI tersebut.
Sehingga menurut Anam bentuk tindakan penangkalan dan prosedur penangkalan tersebut tidak jelas dan tidak memuat kepastian hukum.
"Problem-problem di penangkalan ini sangat riskan atau sangat potensial pelanggaran hak asasi manusia," kata Anam saat diskusi publik yang diselenggarakan Komnas HAM via video conference pada Rabu (13/5/2020).
Selain itu ia menilai ada kebutuhan terkait dengan undang-undang perbantuan TNI dalam penegakan hukum di dalam negeri.
Menurutnya, jika undang-undang perbantuan dibereskan, ide-ide soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme bisa diatur di dalam undang-undang perbantuan tersebut sehingga tidak perlu diatur dalam Perpres.
Anam juga mengingatkan agar pemerintah dan DPR meninjau ulang proses reformasi peradilan militer jika nantinya rancangan Undang-Undang tersebut tetap disahkan dan potensi pelanggaran tidak diindahkan.
Baca: Kepala BNPT Baru Diharapkan Mampu Perangi Ideologi Kelompok Teroris
Hal itu karena pelanggaran tersebut tidak bisa diproses di peradilan umum mengingat sampai detik ini reformasi pengadilan militer tidak berjalan.
"Tapi kami berharap ini ditunda. Terus kita baca ulang. Karena jangan sampai kita ingin TNI yang profesional terus agenda reformasi TNI berjalan baik tapi jadi mundur karena banyak kewenangan-kewenangan yang di luar undang-undang," kata Anam.
Rawan Tumpang Tindih Kewenangan
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menilai rancangan Peraturan Presiden tentang perluasan tugas TNI untuk mengatasi terorisme yang kini tengah menjadi bahan perbincangan rawan tumpang tindih kewenangan.
Hal itu sebagaimana termuat dalam draf rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang menyatakan TNI memiliki fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
Baca: Beredar Nama-nama 871 Purnawirawan TNI Dukung Said Didu Melawan Luhut Panjaitan
Padahal menurut Agus, militer tidak pernah dirancang untuk menjadi penegak hukum dan tidak punya kewenangan untuk penegakan hukum meski bisa membantu upaya tersebut.
Menurutnya upaya perbantuan penegakan hukum oleh TNI tersebut khususnya dalam penanganan keamanan dalam negeri bisa dirumuskan melalui Undang-Undang perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai.
Selain itu ia menilai saat ini upaya menangani terorisme sudah cukup efektif dilakukan oleh Polri.
Hal itu disampaikan Agus dalam diskusi publik yang diselenggarakan Komnas HAM via video konferensi pada Rabu (13/5/2020).
"Penerbitan Perpres untuk TNI dalam peran menangani terorisme akan rawan dengan tumpang tindih antar berbagai lembaga antara lain TNI, Polri, BNPT, Densus 88, dan lain-lain. Dalam hal ini kita bertanya apakah sudah ada kebijakan keamanan dalam negeri oleh pemerintah," ucap Agus.
"Kita bisa bertanya apa bedanya peran Polri dan BNPT, peran BNPT dan Densus 88, apa bedanya Polri dan Densus 88, atau instansi mana saja yang melaksanakan deradikalisasi," kata Agus.
Selain itu ia pun menilai sebaiknya pemerintah memberi kesempatan membuka wacana yang lebih luas untuk mengisi substansi Perpres tersebut demi mendapatkan kesepakatan dari semua elemen.
"Oleh karena itu lebih mendesak kebutuhan untuk menerbitkan Undang-Undang perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai," kata Agus.
Selain itu Agus menilai untuk memadukan unsur-unsur secara komprehensif maka diperlukan kebijakan keamanan dalam negeri yang menurutnya sampai saat ini belum ada.
Ketiadaan kebijakan keamanan dalam negeri tersebut menurut Agus disebabkan belum adanya lembaga yang diserahi kewenangan untuk merumuskan kebijakan dalam negeri.
"Karena masalah keamanan dalam negeri cukup kompleks dan rumit, saya menyarankan kementeiran baru yang bernama Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Seorang menteri yang merumuskan kebijakan keamanan dalam negeri yang nanti secara operasional dijabarkan oleh lembaga-lembaga operasional," kata Agus.
Sebagaimana diketahui wcana terkait Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme kembali mencuat dalam beberapa hari terakhir setelah muncul kritik dari kelompok masyarakat sipil.
Baca: Panglima TNI Lepas Bantuan Kemanusiaan Seberat 12,9 Ton Untuk Republik Kepulauan Fiji
Sejumlah kritik tersebut di antaranya terkait perluasan tugas TNI dalam mengatasi terorisme hingha mencakup penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
Kritik tersebut muncul terkait adanya kabar bahwa draft Perpres tersebut kini sudah diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama pemerintah.