Penghapusan Ujian Nasional
Kemendikbud Bersama Komisi X DPR akan Rumuskan Tolak Ukur Perubahan Pendidikan Indonesia ke depan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan merumuskan grand design perubahan pendidikan.
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan merumuskan grand design perubahan pendidikan Indonesia ke depan.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Komunikasi Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana, setelah diskusi bertajuk "Merdeka Belajar, Merdeka UN" di kawasan Menteng, Sabtu (14/12/2019).
Ade Erlangga mengaku bersama Komisi X DPR RI akan memastikan konsep Merdeka Belajar tersebut sebagai kebijakan.
"Kita bersama-sama komisi X, akan memastikan bahwa ini adalah kebijakan," ujar Ade Erlangga Masdiana, dikutip dari YouTube Kompas TV.
Menurut Ade, Kemendikbud bersama Komisi X DPR RI akan membuat tolak ukur untuk perubahan pendidikan ke depannya.
"Kita rumuskan bersama-sama grand design seperti apa yang bisa dijadikan tolak ukur untuk bisa melakukan perubahan-perubahan pendidikan ke depan," jelasnya.

Dikutip dari Kompas.com, Ade Erlangga Masdiana memprediksi penggantian Ujian Nasional dapat menghemat anggaran hingga ratusan miliar.
Ia mengatakan, anggaran yang dihemat akan dialokasikan untuk infrastruktur pendidikan.
"UN nanti kan enggak ada lagi atau diganti lebih ke arah asesmen. Itu yang selama ini, berapa biaya ratusan miliar yang kemudian bisa kita lokasikan untuk bisa apa, misalnya untuk pengembangan infrastruktur," kata Erlangga di kawasan Menteng, Sabtu (14/12/2019).
Erlangga menuturkan, salah satu pengembangan infrastruktur yang dimaksud adalah perbaikan sekolah-sekolah yang rusak.

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Putra Nababan meminta cetak biru atau rincian dari kebijakan baru yang dibuat oleh Kemendikbud.
"Kita minta cetak birunya, cetak biru itu adalah semua yang komprehensif terkait dengan kurikulum, juga pengembangan guru dan anggaran, dan sebagainya itu ada di situ semuanya," ungkap Putra Nababan.
Menurutnya, nanti cetak biru yang berisi penjelasan mengenai segala kebijakan dari Kemendikbud itu, bisa digunakan sampai 10 tahun ke depan.
"Sehingga kalau kita bicara cetak biru itu, kita tidak bicara satu atau dua tahun, kita bicara lima tahun, 10 tahun," jelasnya.
Mengenai penggantian pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada 2021 menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, ia menyebut anggota DPR telah setuju.
"Kalau masalah pengalihan UN, DPR itu selalu setuju," katanya.
"Persoalannya bukan itu, setelah itu apa, kami kan pembuat undang-undang, kami menyiapkan anggaran," jelas Putra Nababan.
Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim dengan tegas menyampaikan di hadapan Komisi X DPR RI, bahwa keputusan penggantian Ujian Nasional itu ada landasannya.
"Mohon diyakinkan bahwa Kemendikbud tidak akan membuat keputusan seperti ini, tanpa ada basisnya, tanpa ada standarnya," ujar Nadiem Makarim di Ruang Rapat DPR Komisi X, Kamis (12/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Nadiem menjelaskan, program tersebut disusun oleh Kemendikbud berdasarkan inspirasi dari program asesmen seluruh dunia.
"Kita telah menarik inspirasi dari berbagai Asesmen dari seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia," jelas Nadiem.
Kemendikbud telah bekerja sama dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yang diadakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Selain itu, Nadiem mengatakan, Kemendikbud juga bekerja sama dengan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), untuk membuat program tersebut.
"Kita bekerja sama dengan berbagai macam organisasi, dengan organisasi yang membuat PISA yaitu OECD, dan TIMSS juga," ungkap Nadiem.
Kedua organisasi Asesmen itu, menurutnya, semuanya berdasarkan penilaian secara murni untuk kemampuan logika siswa.
"Semuanya meng-ases secara murni kompetensi bernalar," katanya.
"Artinya konten daripada Asesmen Kompetensi, itu sangat sulit di bimbelkan," lanjut Nadiem.
Nadiem mengatakan, program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu menggunakan sistem analisa.
Sehingga nantinya siswa harus menggunakan kemampuan analisanya untuk sebuah informasi.
"Itu merupakan suatu daya analisa dari konteks sesuatu informasi," ujar Nadiem Makarim.
"Murid harus melakukan analisa berdasarkan informasi itu," jelasnya.
Topik pertama menurut Nadiem yaitu literasi.
Siswa dituntut untuk bisa memahami informasi dari sumber bacaan.
"Makanya topiknya hanya dua, satu literasi, yaitu memahami konsep bacaan," ungkapnya.
Selanjutnya yaitu numerasi, yang mengharuskan siswa bisa mengaplikasikan konsep berhitungnya.
Konsep berhitung menurut Nadiem, tidak hanya hal yang tidak nyata, tapi juga dengan konteks yang bisa terlihat.
"Kedua yaitu numerasi, bukan kemampuan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan konsep hitung-berhitung, dalam konteks yang abstrak atau yang nyata," jelasnya.
"Ini merupakan suatu kompetensi fundamental," tegas Nadiem.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Ardito Ramadhan)