Soal Pencopotan Jabatan Tiga Anggota TNI karena Unggahan Istri, Ini Komentar Pengamat
Ia menanggapi terkait dicopotnya tiga anggota TNI dari jabatannya karena unggahan istri mereka di media sosial dinilai menyebarkan kebencian
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi angkat suara menanggapi terkait dicopotnya tiga anggota TNI dari jabatannya karena unggahan istri mereka di media sosial.
Menurutnya secara normatif, Undang-Undang 25 tahun 2014 tentang Disiplin Milter, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit hanya berlaku bagi militer, yaitu anggota TNI berdasarkan perundang-undangan dalam Pasal 1 angka 1 dan tidak berlaku bagi istri karena bukan anggota militer.
Namun menurutnya sebagai keluarga anggota militer, jika dilihat Sapta Marga nomor 5 dan Sumpah Prajurit nomor 3, maka frasa "taat pada atasan" bisa ditafsirkan hal itu juga memasukan istri tentara yang secara struktural juga merupakan ‘bawahan’ dari pimpinan institusi.
Baca: Live Streaming Kejuaraan Dunia Junior 2019 - Indonesia Siap Rebut Tiga Gelar Juara
Baca: KPK Tidak Dilibatkan dalam Seleksi Menteri Jokowi, Pengamat: Ini Episode Terburuk
Baca: Hadir di Haul KH Wahab Hasbullah, Wakil Ketua MPR Singgung Rekonsolisasi Jokowi-Prabowo
Ia mencontohkan, hal itu misalnya nampak dalam pengurusan pernikahan yang ditunjukkan dengan adanya upacara penerimaan sebagai warga organisasi istri prajurit.
Menurutnya, itu artinya istri juga dianggap menjadi bagian dari hubungan atasan-bawahan dalam lingkungan TNI.
"Hal ini menunjukkan bahwa secara moril, perilaku suami-istri anggota TNI memang juga terikat dengan aturan-aturan. Namun bukan secara eksplisit tertera dalam Undang-Undang 25 tahun 2014. Tetapi atas dasar Sapta marga dan Sumpah Prajurit yang bisa dinyatakan mengikat secara moril," kata Fahmi saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (13/10/2019).
Meski demikian, ia menilai pencopotan jabatan tersebut sebagai reaksi yang berlebihan melampaui prosedur yang diatur dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2014 tentang Disiplin Militer.
Menurutnya, itu karena tindakan pencopotan jabatan tersebut dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tanpa pemeriksaan yang cukup dan kurang mengindahkan asas praduga tidak bersalah yang jelas diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Selain itu, menurutnya hal itu juga dilakukan sebelum ada upaya penegakan hukum apapun yang dilakukan terhadap para terduga pelaku sendiri.
"Saya kira ini lebih tampak sebagai reaksi berlebihan, melampaui prosedur yang diatur Undang-Undang," kata Fahmi.
Fahmi juga menilai, hukuman yang dijatuhkan kepada Dandim Kendari Kolonel HS berupa pencopotan jabatan terlalu berat.
Itu karena menurutnya, hukuman disiplin militer dilakukan diantaranya berdasarkan asas pembinaan dan praduga tak bersalah.
Oleh karenanya, perlu dilakukan pemeriksaan yang cukup.
"Bentuk hukuman yang mungkin dijatuhkan juga kan beragam dari ringan hingga berat. Mulai dari teguran hingga pemecatan. Hukuman terhadap si Dandim saya kira termasuk berat," kata Fahmi.
Ia mengatakan belum menemukan data valid peristiwa serupa dalam sejarah TNI.
"Saya belum menemukan data valid terkait peristiwa serupa," kata Fahmi.