Selasa, 30 September 2025

PKB Nilai Belum Tepat Waktu Bagi MPR Lakukan Amendemen UUD 1945 Untuk Hidupkan GBHN

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid menilai amendemen Undang-Undang Dasar 1945 harus berdasarkan aspirasi masyarakat.

Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Jazilul Fawaid. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid menilai amendemen Undang-Undang Dasar 1945 harus berdasarkan aspirasi masyarakat.

Jazilul Fawaid menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan amendemen UUD 1945, khusunya terkait Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Ini kan masa awal, perlu penataan, tentu tergantung dari situasi dan kondisi dan aspirasi masyarakat dan Parpol yang ada. Kalau itu menimbulkan keguncangan, pastilah pemerintah, MPR pasti mempertimbangkan waktu yang tepat," kata Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).

Baca: Penyakit Ashanty yang Diungkap Dokter Kepresidenan, ‘Denger Aja Serem’, Istri Anang Ramai Didoakan

Menurut Jazilul masuknya GBHN dalam wacana amendemen UUD 1945 merupakan rekomendasi dari MPR periode sebelumnya.

"Rekomendasi itu tidak mengikat, tapi rekomendasi itu hasil dari kajian yang mendalam dari MPR yang lama," ujarnya.

PKB sendiri sudah melakukan kajian terhadap wacana amendemen UUD 1945.

"PKB melalui TAP MPR, kami menyetujui akan adanya amendemen terbatas. Tapi kapan dilaksanakan akan ada proses-proses, sehingga tidak menimbulkan keributan," katanya.

Baca: Fakta Tewasnya Wanita Gresik yang Dibacok Mertua, Mulai dari Kronologi hingga Curhatan Terakhir

Sebelumnya diberitakan, wacana amendemen UUD 1945 soal GBHN menimbulkan kekhawatiran.

Wakil Ketua MPR Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan sebagian kelompok khawatir pembahasan amendemen menjalar ke pasal-pasal lain, seperti pemilihan presiden hingga masa jabatan kepala negara.

Baca: Nikita Mirzani Dekat dengan Bule Prancis, Ceritakan Bakal Datang ke Indonesia: Gue Gak Mau Kesepian

"Istilahnya begitu GBHN diamendemen menjadi sebuah ketetapan MPR dan masuk dalam UUD, maka kemudian ada sisi lain yang harus dipertimbangkan, misalnya GBHN itu berdiri sendiri atau bagaimana, ukurannya bagaimana bahwa Presiden telah melaksanakan GBHN."

"Karena GBHN yang membuat MPR, Presiden harus melaksanakannya, berarti Presiden menjadi mandataris MPR. Sebagai kemungkinan, itu mungkin terjadi, mungkin," kata Muzani.

PAN Dukung Amandemen UUD 1945 untuk GBHN

Anggota MPR RI Fraksi PAN Yandri Susanto menyatakan partainya mendukung wacana Amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Menurutnya, GBHN tidak akan membuat kemunduran demokrasi, malah justru garis besar arah pembangunan nantinya akan selaras dan seirama, dari atas sampai ke bawah dengan adanya haluan itu.

Yandri mengatakan, GBHN nantinya bisa dikeluarkan melalui TAP MPR, agar tersedia payung hukum visi misi Indonesia yang bisa dipahami seluruh pimpinan dan lembaga.

"Garis besarnya itu bagaimana arah pembangunan supaya selaras dari bawah sampai ke atas, ada kesinambungan kemudian cara pandang hampir sama, kemudian tentang kenegaraan bagaimana, sebenarnya prinsipnya itu visi misi Indonesia itu harus dipahami dari pemimpin paling atas sampai paling bawah. Bisa TAP MPR, bisa di Amandemen UUD 1945 tapi cenderungnya di Tap MPR," katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).

Baca: Elite PKS: Survei Perppu KPK Tegaskan Publik Tolak UU KPK Hasil Revisi

"Itu cuma istilahnya aja, bukan seperti GBHN dulu, tapi napasnya itu kira-kira penting lho kita seperti dulu tapi bukan GBHN seperti dulu, rigid betul tidak begitu tapi bahwa kita ini ada payung hukum visi misi Indonesia harus dipahami semua pimpinan dan lembaga," imbuhnya.

Ketua DPP PAN ini juga menyoroti pembangunan antara pemerintah daerah, yang belum selaras.

Ia meyakini, dengan adanya Amandemen UUD 1945, Presiden maupun seluruh pimpinan di daerah, bisa sejalan menerapkan penyatuan visi dan misi Indonesia, dalam segi pembangunan berkesinambungan.

"Sekarang kan parsial. Gubernur maunya begini, Bupati maunya begini, antar Bupati dan Gubernur beda tidak selaras. Presiden dengan Gubernur kan tidak sama fokusnya, itu perlu diatur oleh konstitusi, kalau tidak, kita tidak punya pegangan untuk menyatukan itu semua sementara kita kan NKRI," ucapnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, jadi atau tidaknya disahkan GBHN melalui Amandemen UUD 1945, tergantung dari kesepakatan anggota MPR yang baru.

Menurutnya, kesepakatan itu bisa tercapai, dengan adanya pemufakatan dan kesepahaman tiga perempat anggota MPR, dan bukan melalui pemungutan suara atau voting.

Ia menambahkan, proses pembahasan Amandemen UUD 1945 akan segera dibahas oleh pimpinan MPR yang baru, sesuai dengan rekomendasi dari MPR periode 2014-2019.

"Tergantung kesepakatan anggota yang baru, kan syaratnya kan tiga perempat anggota sepakat, lolos kalau kurang dibawah itu ya tidak bisa. Amandemen UUD 1945 itu minimal tiga perempat anggota, karena dia ada DPD dan DPR, kalau kurang dari segitu tidak akan mungkin (gol), kurang satu orang saja dari tiga perempat itu gak mungkin akan terjadi karena itu ada UUD yang mengatur," kata Yandri.

"Jadi perlu memang ini pemufakatan kesepahaman bersama tidak ada voting-votingan tidak ada menang-menangan, karena dia syaratnya tiga perempat bukan 50 plus 1, banyak tiga perempat itu hampir 600," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved