Sanksi Pidana Tak Bikin Jera, Mantan Koruptor Harus Dilarang Maju Pilkada
Dalam banyak kasus, kata dia, koruptor bisa disambut meriah sepulangnya dari tahanan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat politik Ray Rangkuti menilai permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar partai politik (parpol) tidak mencalonkan lagi mantan koruptor dalam pelaksanaan pilkada merupakan yang semestinya diperhatikan secara serius oleh para pimpinan Parpol.
Karena faktanya pemidanaan terhadap koruptor tidak dengan sendirinya dapat menghentikannya untuk tidak melakukan korupsi lagi.
"Telah banyak kasus, mantan koruptor terlibat lagi dalam hajat pemerintahan lalu kembali melakukan korupsi," ujar Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia kepada Tribunnews.com, Selasa (30/7/2019).
Menurut Ray Rangkuti, korupsi di negera ini sudah seperti kebiasaan.
Karenanya koruptor tidak pernah dipandang sebagai kejahatan apalagi kejahatan luar biasa.
Pun bagi para pelakunya seperti tidak ada kata jera dan permintaan maaf karena memang mereka melihat bahwa pemidaan yang mereka alami adalah penegakan hukum yang tidak tepat.
"Mereka memandang bahwa mereka adalah objek dari penegakan hukum yang tidak adil. Di sinilah sebab mengapa para koruptor seperti tidak pernah jera untuk terjun kembali ke politikt dan bahkan seperti tidak pernah bersalah," tegasnya.
Baca: Hakim MK Minta KPU Hati-Hati Rekrut Petugas Pemilu dan Belajar dari Kasus Saksi PKB
Saat yang sama, penerimaan masyarakat terhadap mantan koruptor juga terlalu ramah.
Dalam banyak kasus, kata dia, koruptor bisa disambut meriah sepulangnya dari tahanan.
Itu jugalah sebabnya mengapa dalam beberapa pilkada atau pemilu secara umum mereka yang pernah dipenjara karena kasus korupsi masih dapat terpilih kembali.
Karena itulah, tegas dia, sangat beralasan jika KPK meminta kepada para ketum parpol agar tidak lagi mencalonkan mantan koruptor dalam pilkada.
"Sekalipun, nampaknya, permintaan ini akan lebih banyak diabaikan tapi penyampaian permintaan ini sesuatu yang tepat dan perlu dilakukan," ucapnya.
Tanggapan KPU
Komisioner KPU RI Pramono Ubaid menyarankan ada pihak yang mendesak para pembuat Undang-Undang dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk merombak aturan yang tercantum pada Undang-Undang Pilkada.
"Agar usulan KPK ini tidak layu sebelum berkembang, maka gagasan ini perlu didesakkan kepada para pembuat Undang-Undang (pemerintah dan DPR) agar masuk dalam persyaratan calon yang diatur UU Pilkada," terang Pramono saat dikonfirmasi, Senin (29/7/2019).
Baca: Berbekal Rambut Nunung, Polisi Sebut sang Komedian Sudah Setahun Lebih Konsumsi Sabu
Namun, bila proses pembahasan revisi UU Pilkada tersebut dianggap terlalu panjang, maka ada satu cara yang bisa mempersingkatnya.
Yakni DPR bisa memberi persetujuan ketika KPU mengusulkan larangan eks napi korupsi maju pencalegan yang dituang dalam Peraturan KPU (PKPU).
"Jika proses ini terlalu panjang, maka pemerintah dan DPR memberi persetujuan nanti ketika KPU mengusulkan aturan ini dimasukkan dalam PKPU tentang pencalonan kepala daerah dalam Pilkada," jelas Pramono.
Imbauan KPK Agar Parpol Tak Calonkan Mantan Koruptor Jadi Kepala Daerah
Penangkapan Bupati Kudus Muhammad Tamzil membuat Komisi Pemberantasan Korupsi memberi peringatan kepada partai politik untuk tak memilih bekas terpidana korupsi jadi calon kepala daerah.
Tamzil sebelumnya ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap jual beli jabatan.
"KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada 2020, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di kantornya, Sabtu, 27 Juli 2019.
KPK menangkap Tamzil dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Jumat, 26 Juli 2019. KPK menyangka politikus Hanura itu menerima Rp 250 juta dari pelaksana tugas Sekretaris Daerah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kudus, Akhmad Sofyan.
Suap yang diberikan melalui staf khususnya, Agus Soeranto itu diduga agar Sofyan dapat menduduki jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Baca: Mendagri Soal Izin FPI: Dicek Betul Menerima Pancasila Atau Tidak
Sebelumnya, Tamzil juga pernah masuk penjara karena kasus korupsi. Saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, Tamsil melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus anggaran 2004.
Pada 2014, Kejaksaan Negeri Kudus menyidik kasus ini. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang memvonis Tamzil 22 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan pada Februari 2015.
Basaria meminta kasus Tamzil menjadi pelajaran bagi parpol dan masyarakat untuk menelusuri rekam jejak calon kepala daerah. Dia minta jangan pernah memberikan kesempatan bagi koruptor untuk dipilih.
"Jangan pernah lagi," kata dia.