Tanggapan KPK Soal Indonesia Teken MLA dengan Swiss
Perjanjian MLA ini sendiri dari 39 pasal. MLA antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamongangan Laoly, telah menandatangani perjanjian bantuan timbal balik (Mutual Legal Assisstance/MLA) dengan pemerintah Swiss beberapa waktu lalu.
Perjanjian MLA ini sendiri dari 39 pasal. MLA antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil kejahatan.
Kesepakatan kedua negara berkaitan langsung dengan pemberantasan korupsi, terutama yang berlangsung lintas negara (Indonesia dan Swiss).
Selama ini, Swiss sering dipandang sebagai negara aman untuk menyimpan hasil kejahatan, meskipun kini pandangan itu tak sepenuhnya benar.
Lalu apa implikasi MLA ini terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia?
Baca: Warga Tuban Kehilangan Rumah Gara-gara Menungkan Bensin ke dalam Botol, Begini Ceritanya
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya menyambut baik adanya perjanjian ini. Diharapkannya, perjanjian MLA ini semakin memperkuat kerjasama Internasional yang dimiliki oleh Indonesia dengan Swiss.
"Sebelumnya, KPK juga tergabung dalam tim perumus MLA antar kementerian bersama Kumham, Polri, Kejaksaan, PPATK, Ditjen Pajak, dan lain-lain," kata Febri kepada wartawan, Rabu (6/2/2019).
Ia pun menjabarkan beberapa jenis kerja sama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi, yaitu Perjanjian Bileteral (negara dan negara), misal perjanjian MLA dan perjanjian ekstradiksi.
Kemudian Perjanjian Multilateral (beberapa negara mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian), menggunakan konvensi internasional seperti UNCAC atau UNTOC, dan yang terakhir Hubungan baik antar negara.
Menurut Febri, penguatan kerja sama internasional sangat penting artinya dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Selain karena korupsi dan kejahatan keuangan lainnya sudah bersifat transnasional dan lintas negara, perkembangan teknologi informasi juga semakin tidak mengenal batas negara.
"Sehingga, MLA dan sarana perjanjian internasional lainnya memiliki arti penting, termasuk MLA Indonesia-Swiss yang baru saja ditandatangani," kata Febri.
Namun, katanya, selain adanya Perjanjian MLA, kapasitas penegak hukum juga dinilai penting, karena proses identifikasi mulai penyelidikan hingga penuntutan sangat penting untuk bisa menemukan adanya alat bukti atau hasil kejahatan yang berada di luar negeri.
"Dengan semakin lengkapnya aturan internasional, maka hal tersebut akan membuat ruang persembunyian pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil kejahatan dan alat bukti menjadi lebih sempit," jelas Febri.