Fadli Zon Nilai Pemerintah Tidak Memiliki Konsep dan Implementasi yang Jelas di Bidang Pertanian
Ketua Umum Himpunan Kelompok Tani Indonesia, Fadli Zon menuliskan catatan akhir tahun mengenai kondisi pertanian di Indonesia sepanjang 2018.
Penulis:
Taufik Ismail
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Kelompok Tani Indonesia, Fadli Zon menuliskan catatan akhir tahun mengenai kondisi pertanian di Indonesia sepanjang 2018.
Menurut Fadli sebagai negara agraris, kebijakan bidang pertanian Indonesia tak memiliki konsep dan konsistensi yang jelas.
Itu sebabnya isu-isu pertanian di Indonesia masih tetap didominasi wacana subsistensi, seperti ketahanan pangan dan sejenisnya.
Baca: Billy Syahputra Belanja Sepatu di Tokyo, Hilda Vitria Puji Uang Kekasih: Enggak Abis-abis
Sementara, janji untuk swasembada pangan tak tercapai, impor semakin dominan terutama untuk beras, gula, jagung, sampai garam.
Menurut Fadli, secara garis besar ada dua masalah yang membuat sektor pertanian Indenosia terus terbelenggu dan tidak mencapai banyak kemajuan yaitu soal konsep dan konsistensi.
Menurutnya, terkait dengan konsep, pemerintah tidak pernah memiliki desain kebijakan pembangunan pertanian yang komprehensif.
Baca: BMKG Keluarkan Peringatan Dini Gelombang Tinggi 31 Desember 2018 hingga 3 Januari 2019, Cek di Sini
"Padahal, pertanian adalah tulang punggung negara kita, karena sebagian besar rakyat kita bekerja di sektor ini. Jika kita gagal merumuskan konsep kebijakan yang tepat, maka negara ini bisa ambruk,” kata Fadli alam keterangan tertulisnya, Senin, (31/12/2018).
Tidak hanya masalah konsep, menurut Fadli masalah implementasi juga penting dilakukan dengan dengan baik.
Saat ini belum ada konsep dan implementasi yang baik dalam masalah pertanian di pemerintah Jokowi.
Satu contonya mengenai kebijakan harga pangan.
Fadli Zon mempertanyakan apa sebenarnya orientasi pemerintah, Apakah harga murah untuk konsumen ataukah kemakmuran petani produsen?
Menuruttnya, jika orientasinya harga murah, maka kebijakan impor pangan jorjoran mungkin harus diterima.
Tapi, akibatnya kan petani produsen kita bisa mati.
Baca: Malam Tahun Baru, PT KA Putuskan Berhentikan Semua Kereta di Stasiun Jatinegara
"Sebaliknya, jika orientasinya adalah kemakmuran petani produsen, berarti kita harus memberikan ruang toleransi yang cukup bagi petani untuk mendapatkan insentif. Jangan tiap kali petani mendapatkan harga bagus, langsung ditutup dengan impor," katanya.
Bila pun impor pangan tidak bisa dihindari, menurutnya, ada satu prinsip yang tidak boleh dilanggar sebuah negara agraris, yaitu jangan sampai impor itu merugikan petaninya sendiri.
Hal itu seperti yang terjadi sekarang ini.
“Dalam kasus impor gula, misalnya, tahun ini pemerintah telah menerbitkan izin impor sebesar 3,6 juta ton GKR (Gula Kristal Rafinasi). Jumlah izin tersebut sangat aneh, sebab kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri kita hanyalah sebesar 2,4 hingga 2,5 juta ton GKR saja. Ujungnya, kebijakan ini jelas merugikan para petani tebu kita.” katanya.
Wakil Ketua DPR tersebut mengatakan sebagai negara agraris, orientasi pembangunan kita mestinya kemakmuran petani.
Kegairahan produksi, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi, harus didesain sebagai konsekuensi adanya rangsangan insentif bagi petani.
Maksudnya, jika petani produsen mendapatkan insentif menarik, dari pengalaman sejarah, produksi komoditas otomatis akan bertambah.
“Masalahnya, bagaimana kita meningkatkan insentif bagi petani? Saya melihat, di sinilah kita perlu meningkatkan ‘human capital’ petani, terutama terkait kemampuan entrepreneurship mereka. Petani kita harus dididik bukan hanya mengenai teknik dan teknologi baru pertanian, yang bersifat ‘on farming’, melainkan juga strategi usaha tani, yang bersifat ‘off farming’" katanya.
Pemerintah, tambah Fadli, harus memberdayakan kembali para penyuluh pertanian.
Para penyuluh harus diberdayakan dengan perspektif baru, yaitu penyuluhan usaha tani.
Indonesia harus mengubah perspektif pembangunan pertanian dari orientasi subsisten menjadi orientasi komersial.
Petani harus dididik menjadi pengusaha.
Tugas pemerintah, selain memberikan penyuluhan dan pelatihan, adalah menciptakan ekosistem bisnis pertanian yang kondusif, baik di level input maupun di level output.
Di level input, misalnya, penting sekali Pemerintah memberikan subsidi.
Misalnya di bidang peternakan, karena konsumsi daging kita masih rendah, maka Pemerintah harus memperhatikan betul industri peternakan.
Berdasarkan data yang Fadli pegang, tingkat konsumsi daging Indonesia memang masih tergolong rendah, hanya 11,6 kilogram per kapita per tahun.
"Jangan jauh-jauh membandingkan konsumsi daging kita dengan Amerika dan Australia, yang masing-masing mencapai 120 kg dan 111 kg per kapita per tahun, karena angka konsumsi kita masih jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, yang konsumsinya mencapai 52,3 kg, Filipina yang konsumsinya mencapai 33 kg atau bahkan Thailand yang konsumsinya mencapai 25,8 kg,” katanya.
Wakil Ketua Umum Gerindra itu mengatakan, ada dua isu kenapa konsumsi daging kita masih rendah, yaitu harga dan masalah ketersediaan.
Untuk menutupi dua persoalan itu, harus ada subsidi bibit ternak sapi dan domba, atau kambing, untuk menggiatkan kembali peternakan rakyat, selain tentunya mendukung peternakan berskala industrial.
Untuk konteks peternakan ayam, yang harus dikontrol oleh pemerintah adalah harga dan suplai pakan, agar industri ayam petelur kita tidak rontok.
Begitu juga dengan sektor perberasan. Ada beberapa kebijakan Pemerintah yang menurut saya perlu dikoreksi.
Misalnya, kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) harus segera diubah menjadi Harga Dasar, agar Bulog bisa kembali berperan sebagai badan penyangga pangan.
Selama ini kebijakan HPP telah membatasi fungsi Bulog dan menjadikan petani tak punya posisi tawar.
Hal yang tak kalah penting untuk menjaga agar ekosistem bisnis usaha tani tetap berjalan adalah reforma agraria.
Namun hal tersebut gagal dijalankan pemerintahan sekarang ini.
Meskipun saat kampanye dulu disebutkan akan mendistribusikan lahan seluas 9 juta hektar dan menyediakan 12,7 juta hutan kelola rakyat lewat sistem perhutanan sosial sampai 2019, namun realisasinya sangat jauh.
"Bagaimana bisa agenda reforma agraria berjalan, jika pemerintah sendiri baru merilis Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria sesudah empat tahun berjalan. Itu benar-benar tidak menunjukkan komitmen serius melaksanakan agenda reforma agraria," ujarnya.
Fadli menduga untuk menutupi kegagalan itu, Pemerintah memberikan hiburan kepada rakyat melalui kegiatan bagi-bagi sertifikat langsung oleh Presiden, seolah itulah program reforma agraria.
Padahal, program sertifikasi dan legalisasi tanah melalui Prona itu sebenarnya telah ada sejak tahun 1981.
Prona sebenarnya tidak tepat disebut sebagai bagian dari reforma agraria.
Menurutnya, tidak pantas Pemerintah mengklaim program bagi-bagi sertifikat tadi sebagai bentuk reforma agraria.
Fadli kembali menegaskan sebagai negara agraris orientasi pembangunan pertanian harusnya untuk kemakmuran petani.
Pemerintah harus bisa memakmurkan petani trlebih dahulu sebelum menjadi negara industri yang kuat.
Itu sebabnya, menurut Fadli sebelum pemerintah bicara mengenai Revolusi Industri 4.0, seharusnya terlebih dahulu bicara bagaimana menjadikan petani sebagai kelas pengusaha baru.
"Tanpa menjadikan petani sebagai kelas pengusaha, omong kosong saja kita bicara Revolusi Industri 4.0," katanya.