Kamis, 2 Oktober 2025

Pilpres 2019

Fenomena Paket Capres Cawapres 'Menggantung' Poros Jokowi dan Prabowo

Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, sebetulnya partai Gerindra tidak begitu sulit mengusung Prabowo menjadi capres

Ist/Tribunnews.com
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siapa sosok cawapres pendamping Prabowo Subianto kini masih menjadi teka-teki.

Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, sebetulnya partai Gerindra tidak begitu sulit mengusung Prabowo menjadi capres, tinggal mencari dan menyakinkan satu partai koalisi lagi untuk memenuhi ambang batas aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu.

Baca: Aksi Menpora Malaysia Nge-Vlog Bareng Jokowi, Kaget Saat Dipanggil Bro oleh Presiden

Berbeda dengan poros ketiga yang sedang coba digadang-gadang dibangun oleh partai Demokrat, minimal harus mampu menarik dua parpol koalisi lagi agar bisa memenuhi syarat administratif sebagai prasyarat mengusung capres dan cawapres.

Partai Demokrat juga diketahui terus berupaya melakukan konsolidasi, silaturahim dan penjajakan awal ke beberapa parpol koalisi lainnya.

Hal tersebut, lanjut Pangi, memang sebuah strategi, sosok cawapres sengaja dibuat menggantung.

"Kita tidak kaget membaca fenomena paket capres dan cawapres sengaja dibuat menggantung, baik dari poros koalisi Jokowi maupun Prabowo belum ada yang berani mengumumkan paket capres dan cawapresnya,"ujar Pangi, Sabtu (14/7/2018).

Belakangan memang sudah beredar nama-nama yang berpotensi menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres tahun 2019 mendatang

Dari kalangan parpol ada nama-nama seperti politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al Jufri, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zullkifli Hasan dan politisi Partai Demokrat, Chairul Tanjung.

Sedangkan dari kalangan non-parpol muncul nama Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Namun, ada waiting game yang sedang dimainkan masing-masing poros parpol koalisi. Mereka tentu tidak mau 'layu sebelum berkembang'.

"Wajar kemudian political game theory dijalankan, politik saling kunci mengunci parpol koalisi, sehingga tidak ada ruang komunikasi dan lobi tingkat tinggi elite sentral partai. Ketika paket capres dan cawapres sudah diumumkan ke publik menjelang H-1 penutupan pendaftaran capres cawapres, maka otomaticly mau tidak mau, suka tidak suka parpol yang tergabung dalam koalisi mesti menerima paket capres dan cawapres tersebut," kata Pangi.

Kalau ditelaah dan dipelajari lebih dalam, pola embrio terbentuknya koalisi, kata Direktur Voxpol Center ini, biasanya ada dua role model, pertama membentuk koalisi dulu lalu kemudian mencari sosok figur capres dan cawapresnya.

Pola kedua adalah, mencari figur dan sosok baru kemudian merangkul parpol koalisi untuk bergabung membangun poros.

Baca: Pilpres 2019, Penantang Jokowi Diprediksi Bukan Lagi Prabowo Subianto

Dalam pengalaman peta politik koalisi selama ini, mencari figur dulu, baru membentuk poros koalisi.

"Sekali lagi, ibarat main sepak bola piala dunia, timing sangat menentukan, bermain injure time/last minute dengan menunggu bola umpan lambung dimenit menit terakhir bisa mengubah peta konstelasi politik, begitu juga dalam pilpres. Kita tunggu kejutan tersebut!," kata Pangi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved