Senin, 6 Oktober 2025

Paket Reformasi Hukum ala Jokowi

Paket Reformasi Hukum yang akan dikeluarkan Presiden Joko Widodo kemudoan disambut antusias khalayak.

Editor: Hendra Gunawan
Kompas.com
Ilustrasi penjara 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Wacana tentang hukuman tambahan bagi terpidana kasus tindak pidana korupsi mencuat ketika pemerintah akan meluncurkan Paket Reformasi Hukum. Paket Reformasi Hukum yang akan dikeluarkan Presiden Joko Widodo kemudoan disambut antusias khalayak.

Salah satunya soal pemberatan pidana kepada koruptor untuk memberikan efek jera berupa sanksi sosial. Dari menyapu jalan raya, membersihkan WC umum hingga KTP bercap 'Mantan Koruptor'. "Prinsipnya, kita adalah negara hukum. Berarti sepanjang itu diatur dalam hukum, nggak masalah. Sepanjang belum diatur, jangan dulu," kata ahli hukum pidana Prof Dr Hibnu Nugroho kepada detikcom, Senin (3/10) kemarin.

Sanksi sosial ini dinilai mendesak karena pidana pokok dan pidana tambahan kepada koruptor dinilai belum maksimal. Saat ini, koruptor dikenakan pidana:

1. Pidana penjara.2. Pidana denda. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana uang pengganti.
5. Pidana pencabutan hak politik. 6. Pidana pencabutan hak-hak tertentu. 7. Pidana pengumuman putusan hakim.

"Hukuman sanksi sosial itu bisa diatur di Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden (Keppres). Atau paling bagus di UU, masukan saja dalam RUU KUHP," papar Hibnu.

Jaksa Agung HM Prasetyo juga ikut bersuara keras. Ia juga mengusulkan cap 'Mantan Koruptor' di KTP terpidana kasus tindak pidana korupsi itu. Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah mendukung upaya memberikan efek jera melalui hukuman Sosial terhadap para koruptor. Termasuk memberikan cap "mantan koruptor di KTP terpidana korupsi.

Karena menurut ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar, masalah utama pemberantasan korupsi saat ini adalah tidak hadirnya efek jera. "Maka mekanisme hukum Sosial bisa digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memperberat hukuman bagi koruptor," ujarnya.

Ia kemudian menyontohkan, bagi terpidana koruptor selama masa penahanan dipekerjakan sebagai penyapu jalan mulai Pagi sampai sore lengkap dengan atribut tahanan KPK . Atau bentuk-bentuk hukuman sosial lain yang membuat mereka memperoleh efek malu secara Sosial.

Namun dia ingatkan, paket-paket kebijakan hukum tersebut tidak boleh berhenti menjadi paket kebijakan dokumen kosong lagi miskin penegakan hukum. "Karena selama ini formalitas paket-paket kebijakan tersebut seringkali mengalami kelemahan pada ranah operasionalistik apalagi bila terkait penegakan hukum," tandasnya.

Juru Bicara Presiden, Johan Budi, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat bahwa hukuman bagi para koruptor belum maksimal. Namun setujukah Jokowi dengan usulan penambahan sanksi sosial?

"Usulan sanksi sosial bagi koruptor adalah salah satu usulan yang mengemuka dalam rangka melakukan reformasi hukum. Usulan-usulan tersebut akan digodok lagi di Kementerian dan Menko Polhukam sebagai leadernya dibantu Menkum HAM," kata Johan.

Johan menegaskan Presiden belum mengambil keputusan tentang usulan pemberian sanksi sosial bagi koruptor itu. Menurutnya, Presiden menyerahkan kepada tim perumus paket kebijakan hukum apakah usulan itu bisa diakomodasi atau tidak.

Paket kebijakan hukum akan dikeluarkan pemerintah dalam beberapa tahap. Paket kebijakan pertama disebut akan dikeluarkan di akhir bulan Oktober. Publik tinggal menunggu, apakah sanksi sosial bagi koruptor akan masuk ke paket kebijakan hukum atau tidak.

Saat ini masukan sanksi sosial beraneka ragam. Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan mengusulkan koruptor untuk menyapu jalan raya dengan memakai baju khusus. Adapun Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan koruptor dihukum membersihkan WC umum dan diberi KTP bercap 'Mantan Koruptor'.

KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi memahami aspirasi masyarakat. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan lebih efektif hukuman untuk koruptor yaitu dengan pengenaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Bagus (sanksi sosial untuk koruptor), tapi yang paling efektif adalah mengambil seluruh hartanya yang berasal dari korupsi dengan penerapan UU TPPU," ucap Basaria beberapa waktu lalu. (tribun/malau/nicolas timothy/kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved