Jembatan Rusak, Demi Bisa Mengikuti UN, Siswa di Bandung Ini Terpaksa Naik Rakit
"Naik ojek ongkosnya mahal, bisa Rp 10 ribu sekali memutar, bolak-balik jadi Rp 20 ribu."
TRIBUNNEWS.COM, CILILIN - Demi mengikuti ujian nasional (UN) dan ujian akhir madrasah (UAM) sejumlah siswa MTs dan MI dari RT 02/11, Kampung Pabuaran, Desa Rancapanggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, terpaksa menyeberangi Sungai Ciminyak menggunakan rakit, Selasa (10/5).
Sejak terputus akibat tergerus aliran sungai pada Rabu (20/4), jembatan itu belum juga diperbaiki.
Bahkan jembatan darurat yang pernah dijanjikan pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pun tak kunjung berwujud.
Untuk sementara, warga terpaksa membuat rakit untuk penyeberangan sungai atau menempuh jalur memutar ke Kampung Bonjot melewati Desa Mukapayung yang jarak tempuhnya sekitar 8 km.
Dilla Fadilatunnisa (13), siswi MTs Al Mubarok, dari rumahnya di RT 03/10, Kampung Citawa, Desa Rancapanggung, berangkat pada pukul 06.30.
"Kalau enggak menyeberang, ya harus memutar jauh. Mending lewat sini (naik rakit), daripada nanti kesiangan ujian," katanya.
Naik ojek mahal
Selain itu, katanya, kalau harus mengambil jalan lain memutar ke Mukapayung, ia harus mengeluarkan ongkos ojek yang tak sedikit.
"Naik ojek ongkosnya mahal, bisa Rp 10 ribu sekali memutar, bolak-balik jadi Rp 20 ribu. Biasanya juga jalan kaki, jadi jalan saja, menyeberang pakai rakit," ujarnya.
Selain siswa SMP/MTs sederajat yang melakukan UN pada Senin (9/5) hingga Kamis (12/5), para murid madrasah ibtidaiyah (MI) setingkat sekolah dasar juga tengah melakukan UAM pada Senin sampai Jumat (13/4).
"Hari ini ujian Akidah Akhlak dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam)," ujar Ninih Fadilatul Mutmainnah (12), siswi MI Muslimin, Kampung Cikadu, Desa Cikadu, Kecamatan Sindangkerta.
Ninih mengatakan, sejak terputusnya jembatan tersebut, dia bersama teman-temannya harus menyeberang sungai menggunakan rakit setiap hari, baik berangkat maupun pulang sekolah.
Awalnya, kata Ninih, dia merasa takut jatuh, terlebih kalau airnya sedang pasang. "Kalau sekarang mah sudah biasa, malah senang kalau ramai-ramai sama teman," kata Ninih.
Abah Dahlan (62), seorang warga, mengatakan setiap hari ia menyeberangkan puluhan anak sekolah baik SD, SMP, maupun SMA dari Kampung Pabuaran menuju sekolah masing-masing di seberang sungai.
Menurut dia, banyak siswa yang sekolah di seberang sungai.
"Kasihan anak-anak tadi pagi (kemarin) rakitnya kandas karena air sungai mulai surut dan banyak pasir di dasar sungai. Sementara saya benerin, terpaksa anak-anak menyeberang sungai sendiri," katanya.
Menurut dia, selain anak-anak banyak juga pekerja yang terpaksa menyeberang setiap hari. Bahkan ada pula warga yang harus pulang kerja sampai malam hari.
"Besok (hari ini) juga bakal ramai, soalnya banyak ibu-ibu yang pergi ke pasar Rabu di Rancapanggung," katanya.
Salah satu pedagang, Ipah Saripah (29), mengatakan terputusnya jembatan tersebut sedikitnya merugikan para pelaku usaha kecil. Ia terpaksa belanja untuk keperluan warungnya dengan memutar jalan ke Desa Mukapayung.
"Ongkosnya jadi nambah. Biasanya Rp 10 ribu sekarang Rp 25 ribu karena harus mutar. Selain jauh, rugi waktu juga," ujarnya.
Selain Ipah, banyak pengusaha kecil lainnya yang mulai mengeluh akibat terputusnya jembatan tersebut. "Saya harap segera ada perbaikan jembatan, agar perekonomian kami pengusaha kecil tidak lagi sulit," katanya.