Skandal Panama Papers
Dradjad Wibowo Imbau Menteri atau Pengusaha Klarifikasi kenapa Pakai SPV
Dradjad Wibowo menilai, jika ada menteri dengan latar belakang pengusaha atau pimpinan perusahaan, sangat tidak aneh kalau memakai SPV.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Chairman, Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo menilai, jika ada menteri dengan latar belakang pengusaha atau pimpinan perusahaan, sangat tidak aneh kalau memakai SPV.
Pemakaian SPV ditegaskan Dradjad, makin booming setelah krisis ekonomi, terutama terkait aset-aset BPPN.
"Tinggal sekarang menteri tersebut mengklarifikasi, untuk apa yang bersangkutan pakai SPV. Klarifikasi ini sangat penting bagi mereka yang menjadi pejabat publik, atau keluarganya, atau mereka yang punya pengaruh publik," ungkap Dradjad.
Ada 2.961 nama pesohor dan pengusaha Indonesia yang masuk dalam daftar "Panama Papers". Nama-nama yang masuk yang kemudian mengagetkan publik Indonesia.
Nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno ternyata turut disebutkan dalam bocoran Panama Papers.
Dalam database klien kantor hukum di Panama Mossack Fonseca, pemilik dokumen yang dibocorkan itu, terdapat nama Rini Mariani Soewandi.
Dikutip dari kompas.com, berdasarkan link https://offshoreleaks.icij.org ada nama Menteri BUMN Indonesia, Rini Soemarno yang tercantum memiliki saham di perusahaan offshore One World Limited Investment dan First Union Consultant Limited.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi mengakui beberapa nama orang Indonesia yang ada dalam daftar "Panama Papers" cocok dengan yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sehari sebelumnya menjelaskan, data Panama Papers nantinya akan dijadikan perbandingan dengan data yang ada. Ditegaskan, orang Indonesia senang menaruh uang dengan skema awal membentuk perusahaan afiliasi atau SPV di negara bebas pajak.
"Tax havens itu negara kecil yang enggak punya apa-apa, kalau di AS (Amerika Serikat) kan enggak mungkin, menyejahterakan rakyatnya pakai apa (jika bukan pajak)," ujar Bambang.
"Setelah klarifikasi, tinggal dicek apakah perusahaan tersebut dilaporkan dalam laporan kekayaan dan SPT-nya. Setelah itu ya kekurangan pajaknya dibayar. Ini bukan sebuah proses hukum, tapi lebih merupakan tanggung jawab jabatan," Dradjad Wibowo menambahkan.
Menurut Dradjad, pejabat publik dituntut untuk memiliki standar etika yang jauh lebih tinggi dari masyarakat umum. "Saya tidak mau sebut nama, tapi silakan dicek juga apakah perusahaan tempat menteri-menteri tersebut juga ada dalam dokumen," tambahnya.
Artinya, ini praktek yang mereka anggap lumrah. Tinggal sekarang tugas lembaga-lembaga negara mengecek kekurangan pajaknya, pelanggaran hukumnya dll. Status nama-nama tersebut tidak bersalah, hingga dibuktikan adanya pelanggaran hukum maupun pajak," Dradjad menegaskan kembali.