Kamis, 2 Oktober 2025

Pengamat: Parpol Penyebab Deparpolisasi

Deparpolisasi justru hanya bisa terjadi jika partai politik tidak juga membenahi dirinya

Penulis: Johnson Simanjuntak
Valdy Arief/Tribunnews.com
Siti Zuhro 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro mengatakan ancaman deparpolisasi bukan datang dari calon independen.

Deparpolisasi justru hanya bisa terjadi jika partai politik tidak juga membenahi dirinya yang akan membuat publik terus merasa tidak puas akan partai politik.

 “Munculnya fenomena calon independen itu karena kekecewaan publik terhadap partai politik. Semakin publik tidak puas maka semakin kuat calon independen. Partai politik mengalami delegitimasi justru karena ulah partai  politik sendiri. Kalau  pilkada serentak kemarin hanya 37 persen calon independen yang maju dan 14 persennya berhasil memenangkan pilkada, maka pada pilkada langsung 2019, angka ini akan semakin tinggi, jika partai politik terus saja tidak berubah,” ujar Siti Zuhro di Gedung DPR, Kamis (10/3/2016).

Partai politik juga telah gagal menjadikan lembaga legislatif mulai dari DPR, DPRD I dan DPRD II sebagai show room untuk menunjukkan kualitas parpol itu sendiri.

“Contoh saja bagaimana saat ini partai politik tidak sedikitpun berani mengkritik pemerintahan melalui DPR. DPR justru mendukung semua yang dilakukan oleh pemerintah meski itu tidak pro rakyat,” katanya.

Dengan demikian maka proses check and balance antara eksekutif dan legislatif pun tidak terjadi.

Demokrasi pun terancam, padahal dalam sistem presidensial yang kita pilih check and balance diperlukan.

”Kader-kader partai politik di lembaga legislatif gagal membawa diri dan menjalankan fungsi perwakilannya,” katanya.

Ketiadaan check and balance oleh partai politik di DPR terhadap eksekutif pun menurut Siti berimbas di lembaga eksekutif sendiri.

Karena DPR tidak lagi menyuarakan isu-isu yang pro rakyat dan malah mendukung pemerintah, membuat pemerintahan yang tidak ada kerjaan mencounter isu-isu dari DPR menjadi ribut sendiri.

“Keributan internal pemerintahan itu karena DPR tidak lagi menjalankan fungsinya. Pemerintah tidak  lagi mendapatkan tantangan dan kritik-kritik yang membangun dari DPR. Makanya karena tidak ada kerjaan internal pemerintahan itu selalu ribut sendiri. DPR tidak lagi mengawasi pemerintah, mereka jadi rebutan sendiri di internal pemerintahan,” ujarnya.

Pengamat  Politik dari Universitas Indonesia, Muhammad Budyatna mengatakan partai politik Indonesia bersikap sangat pragmatis dan anomali.

Perilaku partai politik yang pragmatis ini bisa dilihat dari sikap para politisi sendiri yang selalu mengedepankan kepentingan modal saja.

“Anomali karena justru orang-orang kritis yang baik untuk demokrasi justru dan sebenarnya untuk partai politik sendiri, saat ini justru hendak dibungkam. Hal ini bisa dilihat pada  kasus Fahri Hamzah. Orang model Fahri saat ini dianggap tidak lagi cocok dengan kepemimpinan PKS saat ini yang pragmatis sehingga berbagai carapun dilakukan untuk menyingkirkannya dari panggung politik Indonesia,” ujarnya.

Jika orang-orang yang berani kritis seperti itu disingkirkan maka yang akan terjadi partai politik hanya akan jadi tukang stempel dan ini diperparah karena Indonesia mengaku sebagai negara demokrasi.

”Bagaimana mungkin di era demokrasi tidak ada kekritisan dan orang kritis justru hendak disingkirkan?,” katanya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved