Pembahasan RUU KUHAP dan KUHP, Sikap DPR Tergantung Pemerintah
Desakan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Perubahan Kitab
Penulis:
Ferdinand Waskita
Editor:
Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Desakan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dihentikan mendapat tanggapan serius dari partai politik. Sejauh ini, beberapa kalangan menilai pembahasan tersebut untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Fraksi Hanura, Sarifuddin Sudding menegaskan perlunya meluruskan penilaian tersebut yang terlanjur beredar di masyarakat. Sudding mengaku prihatin dengan anggapan bahwa RUU KUHP dan KUHAP yang digodok oleh DPR saat ini dinilai dapat mengamputasi kewenangan lembaga lainnya seperti BNN dan PPATK.
“Saya ingatkan bahwa yang mengajukan revisi KUHAP dan KUHP adalah pemerintah sendiri. Karena itu, jika pemerintah masih belum satu suara akan merevisi atau tidak, maka pihak DPR akan bersikap menunggu,” kata Sudding dalam keterangannya, Jumat (21/2/2014).
Sudding mengingatkan, ada beberapa masalah dalam revisi UU KUHP. Misalnya menyangkut sinkron atau tidaknya beberapa pasal yang terdapat di KUHP dengan UU Pidana yang sudah ada. “Yang termasuk dalam konteks ini misalnya pasal soal teroris, korupsi, dan suap,” ujar anggota Komisi III ini.
Hal yang lebih spesifik lainnya misalnya soal kewenangan penyelidikan yang dimiliki aparat penegak hukum. Sudding mengakui, dalam revisi UU KUHP memang ada klausul untuk melokalisir kewenangan penyelidikan.
“Pasal-pasal yang melokalisir kewenangan ini berasal dari pemerintah sehingga tidak tepat jika dalam hal ini masyarakat menyalahkan DPR. Jadi, soal pembahasan ini dilanjutkan atau tidak, bolanya ada pada pemerintah,” pungkasnya.