Neneng Diadili
Pengacara Neneng: Saya Senang Korupsi Diberantas, tapi Jangan Balas Dendam
Rufinus Hutauruk menilai majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sangat tendensius dalam memvonis terdakwa Neneng Sri Wahyuni.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Penasihat Hukum Rufinus Hutauruk menilai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sangat tendensius dalam memvonis terdakwa Neneng Sri Wahyuni.
Rufinus memandang majelis hakim memutus seakan keluar dari fakta-fakta yang muncul dalam persidangan. Dia juga menyayangkan dasar majelis hakim dalam menentukan putusan.
"Saya senang korupsi diberantas, tapi jangan balas dendam. Putusan ini saya lihat sangat tendesius," kata Rufinus saat berbincang dengan wartawan, Senin (18/3/2013).
Lebih lanjut, Rufinus juga menilai, majelis hakim telah bertindak keliru dalam menjatuhi putusannya. Pasalnya, Neneng tidak mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi seorang menteri atapun pejabat negara dalam mendapatkan sebuah proyek.
"Itu sudah kelewatan. Proses persidangannya kita lihat juga. Neneng ini siapa sih, apa dia bisa mempengaruhi menteri, pejabat pemerintahan. Coba dilihatlah. Ini kan penegakan hukum yang sudah tidak benar.kemana struktur hukum keadilannya," ujarnya.
Karena itu, meski sampai saat ini tim penasehat hukum belum mendapatkan salinan putusan, pihaknya terang Rufinus akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim.
"Ada rencana sepertinya kita mau mengajukan banding," imbuhnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman enam tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan kepada Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara Neneng Sri Wahyuni.
Hakim menilai Neneng terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008.
Pembacaan putusan ini berlangsung tanpa kehadiran Neneng di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (14/4/2013). Neneng mengaku sakit sehingga tidak dapat mengikuti persidangan. Adapun majelis hakim yang membacakan putusan ini terdiri dari Tati Hadianti sebagai ketua, serta empat hakim anggota, yakni Made Hendra, Pangeran Napitupulu, Djoko Subagyo, dan Ugo.
"Menyatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama, melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim Tati Hadianti.
Selain pidana penjara, Neneng diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 800 juta yang dapat ditukar dengan hukuman satu tahun penjara. Uang pengganti yang dibebankan kepada Neneng ini senilai dengan keuntungan yang diterimanya dari proyek PLTS.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang meminta Neneng dihukum tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
Tribunnews.com -Edwin Firdaus