Jumhur Hidayat: Modernisasi Dapat Menjadikan Jiwa Kita Gersang
Moh Jumhur Hidayat, mengungkapkan karakter atau identitas keindonesiaan bukan kategori warisan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tokoh muda dan aktivis pergerakan Moh Jumhur Hidayat, mengungkapkan karakter atau identitas keindonesiaan bukan kategori warisan kebudayaan mati melainkan sebuah keniscayaan yang akan terus hidup sesuai perjalanan waktu, selain diyakini selamanya ditopang oleh perkembangan akal budi manusia Indonesia yang dikenal memiliki kecintaan sangat besar atas kehormatan bangsa dan negaranya.
Jumhur di Jakarta, Minggu (23/12/2012) malam, menyampaikan soal karakter dan budaya Indonesia itu dalam Pidato Kebudayaan bertajuk, "Membangun Karakter Indonesia Berbasis Sosio Kultural" di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta.
Ia menjelaskan, penguatan karakter Indonesia tidak boleh terbentuk karena meniru-niru secara absolut dari akar sekaligus produk budaya asing. Sebab, karakter Indonesia harus tetap menunjukkan nila-nilai yang hidup dan ditumbuhkan berdasarkan pengalaman asli budaya bangsa sendiri, yang sejarahnya nyata-nyata mengandung keunggulan di berbagai bidang itu.
"Marilah kita amati secermat-cermatnya, bahwa modernisasi yang terus berlangsung dapat menjadikan jiwa kita gersang jika sekadar dikembangkan melalui budaya rasionalitas Barat yang kaku, sedangkan rasionalitas itu sebenarnya bisa dibumikan dengan budaya setempat untuk menghasilkan ‘output’ lebih bagus lagi bagi kemajuan bangsa," ujar Jumhur dalam rilisnya yang diterima tribunnews.com.
Ditambahkan, upaya bangsa Indonesia belajar dari Barat bukan untuk meninggalkan budaya yang ada apalagi mengkhianatinya, tetapi justru memanfaatkannya untuk mempererat semangat dan meninggikan unsur-unsur kebudayaan di tanah air secara berdayaguna.
Jumhur pun menyatakan ketaksetujuannya membangun karakter Indonesia yang menyerap begitu banyak kebudayaan asing namun mengabaikan keluhuran budaya suku-suku bangsa Indonesia.
"Sudah seharusnya kita menggali terlebih dahulu keunggulan budaya dari suku-suku bangsa Indonesia dan kemudian menjadikan kekuatan gabungannya yang siap menyerap keunggulan budaya dari perlintasan budaya luar, sehingga akan mewujudkan lebih hebat karakter Indonesia yang sesungguhnya," papar Jumhur.
Ia juga menilai, pembentukan RI adalah sebuah proyek politik agung dari para pendiri bangsa dan sampai saat ini masih berdiri.
"Proyek politik agung ini harus dipelihara agar kekal abadi. Karena itulah maka diperlukan langkah-langkah semua elemen bangsa terutama yang berkuasa, untuk ikut ambil bagian dalam penentuan kebijakan guna membangun daya tahan keagungan tersebut," katanya.
Menurutnya, dalam upaya memelihara kehendak bersatu sebagai satu bangsa, maka setiap suku bangsa harus pula melihat dirinya dalam RI. Orang Batak harus melihat dirinya ke dalam RI atau berkarakter keindonesiaan, begitu juga orang Bugis, Papua, Jawa, Sunda, Aceh, Madura, Dayak, Minangkabau, dan semua suku-suku bangsa di tanah air lainnya.
Ia lantas menggambarkan, perasaan senasib dan rasa persatuan dari berbagai kelompok suku bangsa di Indonesia berbeda dengan yang dicapai oleh suku bangsa di negara lain, seperti di negara-negara Amerika Latin yang dijajah bangsa Spanyol atau pada benua Afrika bagian utara dengan sejarah sebagai koloni bangsa Perancis.
“Sejumlah negara di Amerika Latin dan Afrika itu memang mempunyai ikatan senasib dari keanekaragaman suku bangsa, namun saat merdeka mereka berdiri sendiri-sendiri dalam masing-masing negara. Sebaliknya di Indonesia, keberadaan senasib maupun ikatan persatuan suku-suku bangsa tetap terjaga hingga saat ini dalam satu bangsa dan negara,” urainya.
Sementara itu, Jumhur bersyukur dalam amandeman UUD 1945 telah dimandatkan pembentukan lembaga tinggi negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD), namun sayang sejauh ini DPD tidak ubahnya seperti LSM atau ormas, yang hanya bisa memberi pertimbangan dalam pembuatan UU padahal UU itu mengikat seluruh rakyat dan suku-suku bangsa.
"Sehingga wajah dari daerah-daerah yang diwakilinya itu tidak tampak dalam RI. Dengan begitu, bangsa Indonesia seolah-olah hadir sebagai bangsa yang baru sama sekali dan lahir di ruang vakum yang tidak memiliki sejarah pembentukannya yaitu kebesaran jiwa dari suku-suku bangsa pembentuknya," jelasnya, lagi.
Karena itu ia mengharapkan, keberadaan DPD sebagai lembaga yang ikut menentukan wajah bangsa ini harus memiliki kekuasaan pembentukan UU yang bisa mewarnai karakter Indonesia berdasar budaya adiluhung daerah-daerah.
"Tanpa kekuasaan itu maka rasa memiliki suku-suku bangsa di Indonesia terhadap RI akan secara bertahap sirna dan inilah yang dapat menjadikan kesalahan besar kolektif kita sebagai bangsa," cetus Jumhur.
Para anggota DPD saat ini, lanjutnya, memiliki daerah pemilihan di daerah-daerah tetapi nafas dan jiwa mereka adalah tetap ideologi atau bahkan kepentingan sempit partainya.
"Mereka hanya berutang kepada partainya dan bisa jadi dibayar dengan mengorbankan para pemilih di daerahnya," tegasnya.
Jumhur mengaku, kebhinekaan adalah suatu fakta dalam negara Indonesia moderen. Itu artinya, keharusan mengelola kebhinekaan bila tak disertai dengan kearifan menghargai adat dan budaya lokal, juga akan memunculkan ketidakpuasan berbagai entitas masyarakat adat itu sendiri.
Hal itu, sambung Jumhur, telah terlihat di berbagai wilayah tanah air, di mana perlawanan masyarakat adat bukan lagi merupakan problem kecil tetapi sudah menjadi permasalahan yang merata di berbagai wilayah.
Adapun untuk membangun kearifan dalam menyikapi masyarakat adat ini, Jumhur menyebutkan, harus dilakukan dengan mengakui keberadaan mereka sebagai bagian sah dari RI termasuk adanya hukum-hukum kepemilikan adat maupun berbagai lokal jenius yang telah berkembang berabad-abad lalu.
"Kita tidak perlu takut untuk mengakomodasi hukum dan kelembagaan masyarakat adat dalam pengembangan hukum nasional," tantangnya.
Jumhur lebih jauh mengatakan, karakter Indonesia perlu dibangun dari resultante basis-basis sosio-kultural yang adiluhung yang dimiliki berbagai suku bangsa yang kemudian siap dikombinasikan dengan penyerapan nilai-nilai luhur budaya luar.
"Kita wajib menjaga dan mengembangkan basis-basis sosio-kultural masyarakat Indonesia untuk memberikan warna dalam pembangunan Indonesia. Kita harus menggelorakan berbagai budaya asli dan lama yang bisa bersenyawa dengan rasionalitas dan modernitas serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sehingga dapat melahirkan pluralisme Indonesia yang produktif," tuturnya.
Jumhur beralasan, dengan masyarakat yang semakin produktif itu, bisa dipastikan akan mengurangi potensi berbagai konflik termasuk konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Dengan demikian, Indonesia Raya yang gilang gemilang akan segera hadir, bukan saja dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia tetapi bisa menjadi panutan dan pengayom untuk bangsa-bangsa lain.
Klik Tribun Jakarta Digital Newspaper
Baca juga: