Kontras Sayangkan MK Tolak Uji Materiil UU Intelijen
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) amat menyayangkan keputusan penolakan Mahkamah Konstitusi (MK)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) amat menyayangkan keputusan penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Putusan tersebut berpotensi melegalkan tindakan intervensionis aparat keamanan melalui unit-unit intelijennya untuk mengganggu privasi setiap individu.
"Setidaknya, terdapat 16 pasal krusial yang potensial besar mengancam terkait pemenuhan jaminan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia," ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Senin (15/10/2012).
Permohonan uji materi Undang-undang intelijen tersebut diajukan oleh para pemohon yang terdiri dari organisasi HAM, kelompok korban pelanggaran HAM masa lalu, jurnalis, dan advokat HAM di awal tahun 2012.
Haris mengatakan 16 pasal yang dianggap krusial melingkupi tentang definisi ancaman keamanan nasional, definisi rahasia intelijen (berikut pelarangannya), definisi pihak lawan, kewenangan khusus penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi, rekomendasi berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing, serta tata cara pengangkatan Kepala Badan Intelijen Negara(BIN).
Adapun pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim MK pada 10 Oktober 2012 tidak selaras dengan diskursus prinsip-prinsip intelijen demokratik sebagaimana yang berkembang di negara-negara demokrasi lainnya.
Hal ini terlihat dari isi putusan yang tidak secara cermat mengkaji sejumlah norma dalam pasal, ayat, frasa bahkan penjelasan yang terbukti minim dengan jaminan perlindungan HAM maupun tunduk pada supremasi sipil dan segenap aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kebutuhan untuk mengatur tata kelola keamanan nasional yang diikuti dengan pembatasan yang rigid atas kategori ancaman keamanan nasional adalah kemutlakan yang harus diadopsi dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011.
Akan tetapi, MK berdalih bahwasanya operasionalisasi intelijen tidak dapat dibatasi secara baku. Keputusan ini jelas berbahaya, karena secara langsung MK memberikan cek kosong kepada badan eksekutif dan/atau institusi intelijen khususnya BIN untuk meredefinisikan model ancaman dan pihak lawan secara lentur tanpa diikuti mekanisme pengawasan yang ketat.
Kewenangan khusus lainnya yang mendapat perhatian mendalam dari KontraS adalah terkait dengan frasa ‘penggalian informasi’ (Pasal 31 dan pasal 34). Meski dalam UU Intelijen Negara menegaskan bahwa badan-badan intelijen negara termasuk BIN tidak memiliki kewenangan untuk menangkap dan menahan, namun dalam alur sejarah pengesahan UU, frasa ini telah berulang kali mengalami penghalusan bahasa.
Mulai dari kewenangan penangkapan, pemeriksaan intensif hingga pemilihan penggalian informasi.
Politik penghalusan bahasa jelas tidak akan mengubah tujuan pasal kewenangan khusus ini untuk memperkuat operasionalisasi intelijen. Negara bahkan tidak bisa menjamin apabila badan-badan intelijen negara menyalahgunakan frasa ‘penggalian informasi’ demi motif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
"Negara juga tidak bisa menjamin apabila aparat-aparat penegak hukum (khususnya polisi) tidak bersedia untuk mendampingi aktivitas ‘penggalian informasi’. Negara juga tidak memikirkan mekanisme bantuan hukum yang seharusnya tersedia setiap saat dalam aktivitas ‘penggalian informasi’ ini," kata Haris.
Kecacatan dalam putusan final MK juga terdapat pada batasan kategori rahasia intelijen. Dalih MK yang menyatakan harus ada peninjauan legislatif (legislative review) pada klausul rahasia intelijen, sekali lagi tidak memberikan solusi pada potensi pemidanaan yang luas apabila individu baik secara sengaja dan/atau tidak sengaja terlibat dalam pembocoran rahasia intelijen (Pasal 44 dan pasal 45).
Terkait dengan kewenangan penyadapan, majelis hakim MK nampaknya ambigu dalam mencari rujukan pembenar atas kewenangan tersebut. Pasal 28F UUD 1945 (Hak atas Informasi) dijadikan salahsatu rujukan penguat kewenangan. MK bahkan tidak menggunakan pendekatan ‘hak atas privasi’.
Putusan MK terdahulu terkait dengan putusan pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang menerangkan adanya pengaturan tata cara yang tegas dan detail pada aktivitas penyadapan. Putusan ini juga diikuti dengan rekomendasi untuk mengesahkan UU Penyadapan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi atas UU Intelijen Negara bisa ditafsirkan banyak hal. Pertama, atas nama UU institusi keamanan di Indonesia memiliki kewenangan opresif dan eksesif untuk mengedepankan pendekatan keamanan tanpa ada jaminan hukum dan HAM yang jelas kepada warga Indonesia. Kedua, absurdnya tafsir, batasan kebijakan/operasional, dan kewenangan khusus intelijen negara berpeluang untuk mencederai hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) apabila digunakan secara sewenang-wenang dan tanpa mekanisme kontrol yang jelas.
Ketiga, kelak ada banyak produk legislasi keamanan yang semakin mengancam kebebasan sipil dan politik di Indonesia. Dalam hal ini pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, diikuti dengan agenda pengesahan RUU Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara, dan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Inkonsistensi dan multitafsirnya UU ini akan membuka ruang pada ancaman kriminalisasi warga sipil dengan benturan konsep keamanan nasional. Publik juga akan kesulitan untuk mencari rujukan perlindungan hukumnya, karena secara eksplisit UU ini dapat digunakan untuk melakukan penindakan tanpa proses hukum yang jelas dan transparan.