Sidang Lanjutan Lapindo
Bencana Lumpur Lapindo Kesalahan Pengeboran
Ada kesalahan dalam pengeboran. Oleh karena itu, bencana lumpur lapindo adalah tanggung jawab PT Lapindo Brantas

Laporan Sari Oktavia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan UU terkait lumpur Lapindo kembali digelar di Mahkamah Konstitusi Selasa (07/08/2012). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon.
Saksi ahli yang didatangkan oleh pemohon adalah Guru Besar Teknik Geologi Insitut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr RP Koesoemadinata. Dalam keterangannya, Koesoemadinata menjelaskan PT Lapindo Brantas adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya terkait bencana lumpur Lapindo.
"Ada kesalahan dalam pengeboran. Oleh karena itu, bencana lumpur lapindo adalah tanggung jawab PT Lapindo Brantas," ungkap Koesoemadinata.
Kesalahan ini, lanjut Koesoemadinata, yakni berupa tidak dipasangnya selubung casing 9 5/8 inci yang telah disepakati bersama antara pihak-pihak yang terkait dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Dengan tidak dipasangnya casing tersebut, tambah Koesoemadinata, lumpur dan air yang ada di reservoir akan muncul ke permukaan.
Hal utama yang dipermasalahkan dalam gugatan ini adalah adanya dualisme tanggung jawab bencana lumpur Lapindo. Dalam APBN P 2012, pemerintah dan pihak PT Lapindo Brantas sama-sama berkewajiban memberikan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo. Pemerintah mengalokasikan dana dalam APBN P untuk membantu korban lumpur Lapindo. Selain itu, PT Lapindo Brantas juga diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada warga korban lumpur Lapindo.
"Ada dualisme perpektif siapa yang bertanggung jawab atas bencana lumpur Lapindo," ungkap Koesoemadinata.
Dualisme perspektif itu, lanjut Koesoemadinata, terkait dengan kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab. Menurut Koesoemadinata,dalam Pasal 18 UU Nomor 4 tahun 2012 tentang perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN 2012, ada inkonsistensi.
Apabila pemerintah telah memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam, tambah Koesoemadinata, seharusnya tidak ada kewajiban bagi PT Lapindo Brantas untuk turut membantu korban lumpur Lapindo.
Begitu pula sebaliknya, lanjut Koesoemadinata, apabila bencana lumpur Lapindo diakibatkan kesalahan teknis pengeboran, maka pemerintah tidak perlu mengalokasikan dana untuk membantu korban lumpur Lapindo.
"Kalau sudah terbukti bencana lumpur Lapindo disebabkan karena kesalahan teknis dalam pengeboran, pemerintah seharusnya tidak perlu mengalokasikan dana dalam APBN-P karena itu sepenuhnya adalah kewajiban PT Lapindo Brantas," ungkap Koesoemadinata.
Koesoemadinata juga menyatakan, pemerintah harus segera mengakhiri kontroversi penyebab munculnya lumpur lapindo ini. Menurut Koesoemadinata, sebagian besar ahli geologi memang telah mengakui bahwa lumpur lapindo memang bencana alam.
Meski demikian, Koesoemadinata menilai, Ilmu geologi hanya sebatas mempelajari fenomena alam pada tingkat permukaan yakni pada kerak bumi. Oleh karena itu, pendapat dari ahli geologi tidak bisa dijadikan landasan untuk menentukan penyebab lumpur lapindo karena permasalahan ada pada teknis pengeboran yang berada di lapisan yang lebih dalam.
Dengan melihat analisis ini, lanjut Koesoemadinata, pemerintah seharusnya menyerahkan kewajiban membayar korban lumpur Lapindo sepenuhnya kepada pihak PT Lapindo Brantas.(*)
Baca Juga :