Anggota DPD: Keraton Surakarta Harus Tetap Dilestarikan
Adanya rekonsiliasi dan dukungan penuh terhadap kekuasaan Dwi Tunggal
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya rekonsiliasi dan dukungan penuh terhadap kekuasaan Dwi Tunggal antara Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan, mendapat dukungan dan sambutan dari banyak pihak.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Jawa Tengah, Poppy Dharsono menanggapi hal tersebut sebagai hal yang sangat positif.
Rekonsiliasi Keraton Surakarta bisa diartikan sebagai embrio dan alat pemersatu putra-putri dalem Keraton, yang sempat terpecah akibat konflik internal yang melanda sejak meninggalnya Paku Buwono XII, baik yang berada di dalam Keraton maupun di luar.
"Rekonsiliasi yang mempersatukan putra-putri Keraton Surakarta ini sangat positif," ujar Poppy dalam keterangan persnya kepada Tribunnews.com, Selasa (29/5/2012).
Menurut Poppy, Keraton Surakarta sebagai benteng terakhir kebudayaan Jawa harus tetap di lestarikan, agar dapat menjadi penyeimbang budaya-budaya asing yang kian menghegemoni bangsa ini.
Poppy menjelaskan, hal ini harus menjadi perhatian khusus untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya Keraton sebagaimana diatur dalam undang-undang cagar budaya bahwa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab paling utama dalam rangkan kelestarian itu, selain masyarakat pada umumnya, adalah keluarga dan kerabat, serta keturunan Keraton Surakarta.
"Sebetulnya yang harus diperhatikan secara khusus, menurut UU Cagar Budaya itu adalah bahwa Keraton seharusnya sudah dimiliki oleh pemerintah dan pengelolaannya dipercayakan kepada keturunan Keraton, yang dititipkan untuk memelihara dan melestarikan sesuai dengan tanggung jawab moral guna meningkatkan peran sosial budaya Keraton dalam pembangunan bangsa dan negara dalam bingkai NKRI" terangnya.
Poppy menuturkan, pemerintah beserta seluruh lapisan masyarakat sudah saatnya memberikan perhatian mengenai keberadaan keraton yang seharusnya menjadi central kebudayaan Jawa, yang saat ini dinilainya terlihat kumuh, kotor karena tidak dikelola dengan baik.
"Beda dengan masa sinuwun PB XII dan PB sebelumnya. dimana keliatan lebih terpelihara karena banyak orang merasa memiliki dan mereka menyumbang, saya pun menyumbang, itu rutin. Nah, sekarang kami merasa itu dikelola hanya milik bersaudara, kelompoknya Wira Bumi cs saja," jelasnya.
Terkait hal ini, sebagai anggota DPD dari Jawa Tengah, Poppy menghimbau pemerintah agar aset bangunan sejarah, harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan juga masyarakat setempat.
"Sangat disayangkan selain Borobudur, Prambanan, dan lain-lain adalah aset yang sangat penting sekali. Artinya akan merugikan kita bila tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan secara ekonomi bisa menjadi devisa, untuk pemerintah daerah bila di jadikan tempat wisata sejarah," ungkap Poppy.
Dia mencontohkan, seperti Bali yang sama-sama memiliki sejarah kebudayaan Indonesia, bisa memanfaatkan aset-aset sejarahnya untuk dikelola menjadi devisa daerahnya.
"Kalau ini kita tidak dijaga, sebagai benteng terakhir kebudayaan Jawa, maka kita menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri. Artinya akan gampang dimusnahkan dengan implikasi masuknya kebudayaan dari luar," tegas Poppy lagi.
Salah satu solusi yang ditawarkan Poppy ialah bangunan Keraton Solo dibuka untuk umum, sehingga diarahkan menjadi salah satu bagian dari pusat kebudayaan di Jawa Tengah.
"Sehingga Keraton di buka kembali untuk menjadi bagian pusat kebudayaan yang bukan dimiliki oleh orang Keraton saja, tetapi Keraton punya rakyat, sehingga rakyat menjadi berkat," pungkasnya.