Kasus Prita Mulyasari
Basrief: Nanti Saya Lihat Dulu Keputusan Untuk Prita Itu
Jaksa Agung Basrief Arief mengaku tetap melihat proses penegakkan keadilan dalam kasus Prita Mulyasari
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Basrief Arief mengaku tetap melihat proses penegakkan keadilan dalam kasus Prita Mulyasari yang dinyatakan bersalah menyebarkan kritik terhadap RS Omni Internasional melalui internet.
"Nanti saya lihat putusannya. Ini tidak serta merta kami mengejar pelaksanaan hukum tapi juga proses menegakkan keadilan," kata Basrief di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (13/7/2011).
Menurut Basrief, keputusan Mahkamah Agung tersebut tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Putusan hukuman 6 bulan tersebut tidak serta merta membuat ibu tiga anak itu mendekam di balik jeruji besi.
"Jadi dalam 1 tahun dia diharapkan dalam waktu satu tahun tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehingga yang 6 bulan tidak perlu dilakukan," katanya.
Ketika ditanyakan terkait pernyataan Prita yang tetap tidak ingin dipenjara dan bersalah dalam kasus tersebut, Basrief mengatakan karyawan perusahaan swasta itu dapat menempuh upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK)."Saya kira Penasehat Hukumnya mengerti hal itu. Itu hak dia menempuh upaya hukum luar biasa," imbuhnya.
Walau PK tidak akan menghambat eksekusi, lanjut Basrief, tetapi pada hal-hal tertentu juga ada berbagai pertimbangan. "Seperti yang saya katakan tadi ada masalah keadilan di samping melaksanakan putusan. Karena hukum tidak semata-mata untuk hukum," tukasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum dalam kasus pidana Prita Mulyasari. Majelis menganggap Prita tidak terbukti dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut, yakni Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 310 ayat (2) KUHP, atau pasal 311 ayat (1) KUHP.
Putusan dengan nomor perkara 822K/Pid.Sus ini dijatuhkan pada 30 Juni 2011, oleh majelis hakim agung Zaharuddin Utama, Salman Luthan dan ketua majelis Imam Harjadi. Salah satu anggota majelis, Salman Luthan mengajukan beda pendapat (Dissenting Opinion).