Bom Bunuh Diri Cirebon
Masjid Pun Bisa Dibakar dan Dirobohkan -4
Hukum mesjid dlirar ini adalah Allah melarang Rasul-Nya dari melakukan shalat di dalamnya

Hukum Mesjid Dlirar
Hukum mesjid dlirar ini adalah Allah melarang Rasul-Nya dari
melakukan shalat di dalamnya dengan firman-Nya:
”Janganlah kamu melakukan shalat di mesjid itu
selama-lamanya.” (At Tauubah:108).
Jadi shalat di dalamnya adalah haram, dan menurut sebagian
ulama adaiah batal -dan ini adalah pendapat yang benar-, kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk merobohkan dan membakarrnya.
Bisa jadi hukum perobohan dan pembakarannya adalah diambil dari firman-Nya
Subhaanahu Wa Ta’aalaa:
”ataukah orang-orang yang mer.dirikan bangunannya di tepi
jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam
neraka Jahannam?” (At Taubah:l09)
Karena sesungguhnya banyak ulama ushul fiqh memandang
bolehnya berhujjah dengan tindakan-tindakan Adalah kepada hamba-hamba-Nya
terhadap kebolehan melakukan tindakan itu terhadap mereka kecuali kalau ada
qarinah. Ibnu Taimiyyah berkata: (Landasan dasar adalah firman
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan tindakan-Nya,
meninggalkan-Nya dari mengatakan dan meninggalkan-Nya dari melakukan, sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan perbuatannya, serta meninggalkannya
dari mengatakan dan meninggalkannya dari melakukan, meskipun kebiasaan ahli ushul bahwa mereka tidak menuturkan dari sisi
Allah kecuali firman-Nya yang mana ia adalah Kitab-Nya). (Al Muswaddah, Alu
Taimiyyah hal 296)
As Sam’anil berkata: (Penjelasan dari Allah Subhaanahu Wa
Ta’aalaa terbukti dengan ucapan, pebuatan, kinayah (kiasan) dan pengingatan
terhadap ‘illat (alasan hukum), namun tidak terjadi dengan isyarat). (Lihat
Irsyadul Fuhul:173).
Pendapat ini diberi hujjah dengan istidlal para ulama salaf
terhadap pengrajaman orang yang sodomi (liwath} dengan apa yang Allah lakukan
terhadap kaum Nabi Luth. Penulis Kitab AI Mughni berkata:(Sesungguhnya Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengadzab kaum Luth dengan pengrajaman, maka seyogyanya
orang yang melakukan seperti perbuatan mereka diberi sangsi seperti sangsi
mereka). (Al Mughni 8/188).
Saya berkata: Tidak seyogyanya ucapan itu dilontarkan secara
muthlaq, karena Allah mengadzab para ahli maksiat dengan api, namun tidak boleh
seorangpun menyiksa dengan api kecuali bila itu qishash «sebagaimana pendapat
yang shahih dari pendapat jumhur selaian madzhab Hanafi». Wallaahu ta’aala
a’lam.
Pembicaraan tentang mesjid dlirar adalah pernbicaraan yang
panjang, akan tetapi saya akan membatasi pernbicaraan di sini terhadap masalah
kebolehan menghancurkan mesjid-mesjid yang telah dibangun untuk mendatangkan
kemadlaratan kepada kaum muslimin atau karena suatu alasan dari alasan-alasan
atau sebab-sebab yang telah disebutkan. Ini bila mesjid tersebut pada awalnya
dibangun untuk tujuan itu.
Adapun bila mesjid itu dibangun dalam rangka taqarrub kepada
Allah Subhaanaahu Wa Ta’aalaa terus muncul kejadian terhadapnya seperti
penguasaan ahli bid’ah terhadapnya atau pengrubahan fungsinya menjadi tempat
ibadah kaum musyrikin atau pengangkatan imam yang tidak boleh shalat di
belakangnya, maka mesjid semacam ini tidak ada kaitannya dengan pembicaraan
kami dan tidak masuk dalarn kategori mesjid yang boleh dirobohkan, akan tetapi
-bila ada kemampuan terhadapnya- wajib kerusakan ini dilenyapkan, dan mesjid
ini tetap sesuai tujuan asal pembangunannya berupa pengakuan dan pujian
pembangunannya dan yang membangunnya, Penganggapan tujuan asal ini dijadikan
acuan dalam fiqh pada berbagai masalah, di antaranya:
Membedakan antara mesjid yang dibangun di atas kuburan,
dimana yang lebih dahulu adalah kuburan. sedangkan mesjid adalah belakangan,
dengan mesjid yang dikubur mayat di dalamnya, di mana kuburan datang
belakangan.
An Nawawi berkata di dalam fatwanya, beliau ditanya tentang
pekuburan yang diwaqafkan bagi kaum muslimin yang mana seseorang membangun
sebuah mesjid di didalamnya dan membuat mihrab didalamnya, apakah hal itu
boleh? Dan apakah wajib merobohkannya? Maka be!iau rahimahullah berkata: (Hal
itu tidak boleh baginya dan wajib merobohkannya), Ibnul Qayyim berkata di dalam Zadul Mua’ad (masalah ke 77):
(Masjid dirobohkan bila dibangun di atas kuburan, sebagaimana mayat dibongkar kembali bila dikubur di mesjid, hal itu ditegaskan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya, maka tidak boleh berkumpul di dalam dienul Islam antara mesjid dengan kuburan, akan tetapi mana saja yang dibangun di atas yang lainnya, maka ia dicegah darinya dan hak hukum adalah bagi yang lebih dulu ada, dan seandainya diletakkan keduanya secara bersamaan, maka tindakan itu adalah tidak boleh).
BersambungBerita Terkait
* Jawaban Oman Abdurrahman