Jazilul Fawaid: Santri, Ulama, dan Kepemimpinan Nasional
Santri dan ulama diharapkan tidak tinggal diam terhadap berbagai permasalahan, tetapi bersikap proaktif memberikan saran, masukan, dan tenaga.
Namun demikian, eksistensi ini tentunya diharapkan tidak hanya sebatas pada level infrastruktur politik, tapi juga suprastruktur politik yang sangat terkait erat dengan produksi kebijakan (policy-making process) dan corak kepemimpinan nasional. Inilah yang begitu kencang disuarakan oleh arus bawah masyarakat yang menghendaki pemimpin dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang kuat, mampu membawa bangsa dan negara keluar sebagai pemenang dalam mengatasi problematika yang dihadapi.
Kehendak rakyat
Persoalan kepemimpinan nasional bukanlah dikotomi antara nasionalis versus religius, Jawa vis a vis Non-Jawa, atau sipil versus militer. Persoalan kepemimpinan nasional adalah visi komprehensif untuk membawa bangsa dan negara agar mampu memenuhi tujuan nasional seperti yang dinyatakan dalam preambul konstitusi.
Dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang padu, kaum santri dan ulama diharapkan untuk semakin menegaskan kiprahnya dalam panggung kepemimpinan nasional. Harapan dan dorongan tersebut tentu saja akan diuji lebih jauh dalam instrumen-instrumen demokrasi di mana rakyat bertindak sebagai penentu. Jika rakyat benar-benar yakin dan menginginkan sosok pemimpin yang holistik visi kebangsaan dan keagamaannya, maka niscaya kiprah dan kontribusi konkret santri dan kaum ulama akan semakin masif di panggung kepemimpinan nasional ke depan.(*)