HNW: Pencabutan Klaster Pendidikan Bukti RUU Ciptaker Bermasalah
Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi langkah Pemerintah dan aleg DPR RI yang mencabut klaster pendidikan dari RUU Ciptaker.
“Jadi, apabila DPR RI dan Pemerintah peka terhadap masukan dari masyarakat, seharusnya seluruh pembahasan RUU Ciptaker dihentikan, bukan hanya menunda klaster ketenagakerjaan dan menghentikan pembahasan Klaster Pendidikan yang hanya bagian kecil dari RUU itu,” ujarnya.
HNW menambahkan, ada juga ketentuan dalam RUU Ciptaker yang sangat bermasalah karena akan menabrak prinsip negara hukum yang dianut oleh Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan itu misalnya, Pasal 170 RUU Ciptaker, yang memungkinkan pemerintah mengubah undang-undang yang telah disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah dengan hanya melalui peraturan pemerintah (PP).
Padahal, Pasal 5 UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dibuat untuk melaksanakan UU, bukan untuk mengubah UU. Anehnya menurut UU tersebut, pembuatan Peraturan Pemerintah bisa dilakukan oleh Pemerintah yang dinyatakan “dapat” berkonsultasi cukup dengan Pimpinan DPR, tidak perlu atau tidak harus dengan DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat yang oleh UUD NRI 1945 diberi kekuasaan membuat UU.
“Pasal itu jelas tidak sesuai dengan ketentuan UUD NRI 1945, sekaligus men-downgrade serta merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi. Kalau penyimpangan ini dilegalkan jadi UU, maka Indonesia akan diubah dari Negara Hukum dan Demokrasi berbasiskan Konstitusi, menjadi Negara berbasiskan kekuasaan dan kepentingan eksekutif,” ujarnya.
Mempertimbangkan semua itu, HNW mengingatkan apabila pemerintah sebagai inisiator tetap tidak mencabut keseluruhan Omnibus Law RUU Ciptaker, maka hanya akan menguras energi bangsa, yang mestinya fokus bersama-sama atasi Covid-19.
Pasalnya, ketentuan-ketentuan dalam RUU ini ini akan terus menerus dikoreksi dan dikritisi secara bersama-sama, bukan hanya oleh anggota Baleg DPR RI yang pro Rakyat, tetapi juga oleh seluruh kelompok atau organisasi kemasyarakatan (Ormas).
“Tentunya mereka adalah orang-orang yang ingin Indonesia sebagai negara hukum yang betul-betul mementingkan dan menomorsatukan kemaslahatan bangsa dan negaranya sendiri, bukan kepentingan investor asing. Dan tentunya mereka juga berharap, dengan koreksi dan kritikan tersebut, Pemerintah betul-betul melaksanakan Pancasila dan UUD NRI 1945 secara baik dan benar,” pungkas HNW. (*)