Kamis, 2 Oktober 2025

Di Indonesia Berita Tentang Muslim Uighur Banyak Propagandanya Ketimbang Faktanya kata Imam Pituduh

Robi Sugara mengatakan dilaksanakannya seminar nasional 'Muslim Uighur Fakta atau Propaganda' untuk memberikan prespektif baru tentang situasi dan kon

Penulis: Toni Bramantoro
Dok. pribadi
Suasana seminar nasional 'Muslim Uighur Fakta atau Propaganda' untuk memberikan prespektif baru tentang situasi dan kondisi sebenarnya muslim Uighur. 

TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC), Robi Sugara mengatakan dilaksanakannya seminar nasional 'Muslim Uighur Fakta atau Propaganda' untuk memberikan prespektif baru tentang situasi dan kondisi sebenarnya muslim Uighur.

“Acara seminar nasional ini digelar untuk memberikan prespektif baru tentang situasi dan kondisi sebenarnya muslim Uighur,” ungkap Robi Sugara dalam sambutan di acara Seminar Nasional yang digelar secara offline dan online ini.

Acara offline digelar di Hotel Margo Depok, Minggu kemarin itu dibatasi hanya 25 peserta dengan menggunakan protokoler kesehatan yang ketat.

Kemudian untuk acara online disiarkan melalui aplikasi zoom dan youtube secara live.

Acara seminar ini menghadirkan narasumber KH Imam Pituduh, Novi Basuki, Irfan Ilmie, dan Ahmad Syaefuddin Zuhri.

Imam Pituduh adalah wakil sekertaris jenderal PBNU bidang luar negeri yang pernah beberapa kali mengunjungi wilayah Uighur.

Kemudian Novi Basuki mendapatkan pendidikan S1 sampai S3 di China untuk jurusan politik internasional. Irfan Ilmie adalah wartawan senior yang sedang bertugas di China.

Kemudian Ahmad Syaefudin Zuhri saat ini sedang menyelesaikan doktoralnya di Wuhan, China untuk jurusan hubungan internasional.

Imam Pituduh yang berperan sebagai pemberi pengantar untuk acara seminar ini mengatakan bahwa berita tentang muslim Uighur yang tersebar di Indonesia lebih banyak propagandanya ketimbang faktanya.

Selama berkunjung ke China, khususnya Uighur, Imam melihat banyak makam-makam tokoh Islam di sana sangat terawat, juga masjid yang sudah berusia ratusan tahun masih terjaga dengan baik.

"Apa yang ada di muslim Uighur tidak serta merta dianggap penindasan, saya berkunjung ke pedesaan dan kehidupan mereka sangat Makmur, dan saya juga berinteraksi secara bebas disana, termasuk melaksanakan salat Jumat,” tutur Imam.

Kemudian Novi Basuki menjelaskan bahwa China saat ini sangat berbeda dengan China era Mao dimana dalam banyak dokumen bermusuhan dengan agama. Tetapi China sekarang memiliki konstitusi bahwa warga China berhak memeluk agama manapun, termasuk menjamin kebebasan untuk tidak beragama.

“Ini bahkan lebih progresif daripada Indonesia,” ujar Novi.

Novi juga mengatakan bahwa orang-orang atau pemberitaan tentang kekerasan muslim Uighur terlalu dibesar-besarkan yang mana, itu dipelopori oleh kelompok ekstrem kanan.

Selain itu, kabar bahwa di Uighur tidak punya persoalan, juga pernyataan yang dibesar-besarkan yang mana, itu dipelopori oleh kelompok ekstrem kiri.

Menurut Novi, persoalan yang dihadapi oleh muslim Uighur saat ini adalah separatism, terorisme dan nasionalime. Karena masalah inilah, China melakukan sejumlah program.

Ada tiga model yang sudah dilakukan oleh China: pertama dengan cara militeristik, kedua kesejahteraan sosial, dan ketiga cara akomodatif.

Cara pertama dan kedua dinilai gagal, dan yang dianggap berhasil adalah cara yang ketiga.

Novi menemukan fakta bahwa dalam sejarah panjang pemerintah komunis China, baru kali ini memberikan hari libur untuk hari besar Islam seperti Idul Fitri yang sebelumnya tidak pernah terjadi untuk agama manapun.

“Jadi situasi dan kondisi di China saat ini sudah sangat berubah,” jelas Novi.

Kemudian menurut narasumber ketiga Irfan Ilmie mengatakan bahwa masyarakat Indonesia melihat China bergantung dengan konstruksi awalnya. Jika konstruksi awal sudah negative, maka akan melihat China dari sisi negatifnya.

Tetapi kalau melihat China lebih netral atau konstruktif, maka akan berbeda hasilnya. Persoalannya saat ini, lanjut Ilmie, bahwa China dikenal sebagai negara komunis dan komunis disebut sebagai anti agama.

“Inilah yang terjadi, makanya jika ada berita kekerasan muslim Uighur, konstruksi negative ini langsung menerimanya,” kata Irfan.

Tidak berbeda dengan Imam Pituduh, kandidat doktro hubungan internasional Ahmad Syaefuddin Zuhri mengatakan bahwa berita propaganda kekerasan muslim Uighur lebih banyak diproduksi oleh media-media barat.

“Ini kelanjutan dari perang dagang Amerika dan China,” ujar Zuhri.

Kemudian salah satu peserta Bernama Munir yang hadir dalam acara seminar offline mengatakan bahwa kabar kekerasan muslim Uighur telah mendorong dirinya dan kelompoknya berniat melakukan aksi terror untuk kepentingan China di Indonesia. Munir adalah eks terorisme yang pernah membantu muslim Uighur masuk ke Indonesia sebagai foreign terrorist fighter (FTF).

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved