Penyidik KPK Diteror
Mata Kiri Novel tak Dapat Membaca Huruf, Hanya Bisa Melihat Jari Tangan
Hingga hari ke-41 pasca penyerangan yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, pelaku belum juga terungkap.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga hari ke-41 pasca penyerangan yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, pelaku belum juga terungkap.
Mata Novel yang tersiram air keras pun masih dalam kondisi parah. Mata kiri belum bisa melihat sama sekali.
Sedangkan mata kanan baru bisa melihat huruf atau angka dalam ukuran besar. Novel selama ini menjadi kepala Satgas penyidikan kasus e-KTP.
Kamis pekan lalu, Novel menjalani operasi membran sel kedua matanya di Rumah Sakit khusus mata di Singapura.
Kemarin Senin (22/5/2017), tim dokter melakukan tiga tindakan yakni pemeriksaan membaca huruf dan angka di tembok, pengecekan tekanan mata dan pemotretan mata.
Hasilnya, untuk pemeriksaan huruf dan angka masih belum ada perkembangan. Mata kiri tidak dapat membaca huruf sama sekali namun dapat melihat jari tangan.
"Sementara untuk tekanan kedua mata dalam batas normal. Kondisi mata kiri setelah operasi, pada bagian putih (conjungtiva) mata kiri di dekat hidung pasokan darah masih terganggu," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di KPK, Jakarta.
Febri menambahkan dua minggu lagi, membran plasenta yang dipasang di kornea kanan penyidik senior KPK itu akan diangkat agar penglihatan mata kembali terang dan untuk melihat perkembangan selaput kornea di mata kanan.
Diancam
Mengenai perkembangan penanganan perkara tersebut, pihak KPK belum menerima informasi lanjutan. Febri berharap pelaku segera ditangkap, termasuk otak dan motif dibalik penyerangan.
Anggota Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, Tama S Langkun, mengatakan teror ini tidak dapat dipandang sebagai hal biasa.
Teror itu tak hanya kepada Novel, tetapi juga institusi KPK secara keseluruhan. Terlebih, ini bukan teror pertama melainkan beberapa kali.
Baca: Penyidik KPK Kantongi Nama-nama Tersangka Baru Kasus e-KTP
Menurut Tama, apabila teror tersebut tak diungkap, maka ada potensi ancaman lebih besar di kemudian hari kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim.
Belakangan diketahui, Direktur Utama PT Sandipala Arthapura, Paulus Tanos, tidak dapat memberi kesaksian secara langsung di sidang e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (18/5/2017) lalu.
Tanos mengaku tak bisa pulang ke Indonesia karena keselamatannya terancam.
"Ancaman pada penyidik dan saksi di kemudian hari," kata Paulus Tanos yang dihadirkan di persidangan melalui teleconference.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menilai tidak ada perkembangan signifikan dari pengungkapan kasus teror itu.
"Proses pengungkapan demikian ada hal yang dikoreksi. Proses penanganan secara konvensional itu tidak dapat mengungkap kasus Novel Baswedan," ujarnya.
Selama 41 hari penanganan perkara, upaya Polri jauh dari harapan. Instansi penegak hukum itu sempat mengamankan lima orang terduga pelaku.
Namun, belakangan mereka dilepaskan karena belum cukup bukti sebagai pelaku penyerangan Novel Baswedan.
Salah satunya, pihak kepolisian sudah mengamankan seorang pria yang sempat mendadak viral. Pria itu sakit hati karena sempat diinterogasi secara tegas oleh Novel.
"Ada lima orang diperiksa, diamankan, lalu dilepas kembali. Ada 40 hari terbuang, pengumpulan bukti dan keterangan tak ada. Penanganan jauh dari harapan, kalau diteruskan tak bisa diungkap tuntas," ujarnya.
JPU Kesulitan
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Irene Putri, mengaku mengalami kesulitan mendatangkan saksi-saksi karena kerap menerima ancaman dari orang tak dikenal.
"Iya," kata dia.
Seperti halnya, Paulus Tanos, di mana tak bisa dihadirkan ke persidangan. Sebab, dia mengaku rumah diserang dan diancam dibunuh. Akhirnya, dia tinggal di Singapura sejak Maret 2012.
Kesaksian di persidangan disampaikan melalui teleconference yang disiarkan di PN Tipikor.
Saat penyidikan, Paulus diperiksa penyidik KPK di Kantor Corrupt Practice Investigation Bureau (CPIB) Singapura.
Ke depan, apabila diperlukan, dia menegaskan, akan memberikan perlindungan kepada saksi.
"Jika diperlukan, maka kita memberikan perlindungan saksi," tambah Irene. (tribunnews/gle/ter)