Pilgub DKI Jakarta
'Ngopi Sore' Bareng Wartawan, Rizal Ramli Baca Sajak
Pada kesempatan itu, Rizal Ramli menjelaskan soal ruang yang dipakai rapat di kantor itu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta Rizal Ramli 'ngopi sore' bareng sejumlah wartawan di kantornya, di Jalan Tebet Barat Dalam IV, Jakarta Selatan, Minggu (18/9/2016).
Pada kesempatan itu, Rizal Ramli menjelaskan soal ruang yang dipakai rapat di kantor itu.
Di ruang rapat berukuran sekitar 10 X 10 meter itu, pertama-tama Rizal memperkenalkan lukisan karya Yayak Yatmaka.
Lukisan bergambar pemuda Indonesia yang bergelantung di bendera merah putih, memegang buku dan di kakinya terikat bandul besi bertuliskan "Feodalisme" dan "Primodialisme & KKN."
"Ini tulisan karya pelukis yang sempat lari ke Jerman, karena dikejar-kejar Suharto," ujar Rizal.
Lukisan tersebut, kata dia, menggambarkan bagaimana pemuda Indonesia bisa bangkit namun terbelenggu dengan feodalisme, primodialisme dan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Selanjutnya Rizal Ramli memperkenalkan lukisan bergambar ilmuwan yang terkenal dengan teori relativitasnya, Albert Enstein.
Lukisan yang menggambarkan sang jenius tengah menjulurkan lidahnya itu, diakuinya sebagai salah satu koleksi favoritnya. Rizal Ramli mengakui sangat mengagumi Enstein.
Kemudian mantan Menteri Kordinator (Menko) Bidang Kemaritiman ini bergeser ke bingkai kayu tak jauh dari lukisan Enstein.
Di dalam bingkai itu berisi karya penyair W.S. Rendra, berjuduk "Sajak Sebatang Lisong"
Sajak itu ditulis Rendra tahun 1977 lalu, diinspirasi dari keadaan tahun itu bahwa ada 8 juta anak yang tidak sekolah karena tidak mampu. Saat itu Rizal Ramli yang masih tercatat sebagai mahsiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), bersama teman-temannya dari ITB, memperjuangkan masalah tersebut.
Tak hanya menjelaskan, Rizal Ramli pun membacakan sajak tersebut.
Sembari membaca teks yang ada di dalam bingkai, dan sesekali melihat ke kerumunan wartawan.
Berikut teks lengkap sajak tersebut:
Sajak Sebatang Lisong,
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi