PKL Cinere PTUM-kan Satpol PP Depok
Karena keberadaan PKL ada di lahan pemilik ruko dan bukan lahan fasos fasum milik Pemkot Depok.
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK -- Para pemilik Ruko Blok A Cinere beserta ratusan pedagang kaki lima (PKL) di depan ruko tersebut akan menggugat Satpol PP Depok terkait penggusuran ratusan lapak PKL.
Sebab penggusuran dianggap bukan wewenang Satpol PP Depok, karena keberadaan PKL ada di lahan pemilik ruko dan bukan lahan fasos fasum milik Pemkot Depok.
Gugatan akan dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di Cakung, Jakarta Timur, dalam beberapa hari ke depan atau paling lambat pekan depan.
Hal itu diungkapkan Elnard Peter, perwakilan pemilik Ruko Blok A Cinere, kepada Warta Kota, Jumat (12/8/2016).
"Kami sudah sepakat akan menggugat Satpol PP Depok dengan mem-PTUN-kannya karena menggusur atau membongkar PKL di depan Ruko kami, yang bukan wewenang mereka," kata Peter.
Saat ini katanya, pihaknya tengah menyiapkan sejumlah bukti untuk mengajukan gugatan.
"Sebab penggusuran yang dilakukan Satpol PP Depok tidak tepat dan sekali lagi bukan kewenangannya," kata Peter.
Menurut Peter ada beberapa hal yang menjadi dasar pihaknya mengambil langkah ini.
Yakni proses penertiban yang dilakukan sepihak tanpa adanya sosialisasi resmi dengan mengundang para pemilik ruko dan para PKL di sana.
Sebab kata Peter lahan dimana PKL berjualan adalah milik para pemilik ruko dan atas seizin pemilik ruko.
Selain itu kata dia, objek lokasi penertiban yakni tempat para PKL berjualan, jelas-jelas bukan fasos fasum milik Pemkot Depok tetapi merupakan lahan pemilik ruko.
"Jadi sebagai pemilik kepentingan utama disana, saya ingin tahu dasar hukum apa yang digunakan oleh pihak Satpol PP dalam rangka penertiban PKL. Karena lahan PKL berjualan bukan fasos fasum Pemkot Depok dan bukan kewenangan Satpol PP menertibkan PKL di sana," kata Peter.
Belum lagi, kata dia, tak ada sosialisasi dan pembahasan kepada pihaknya secara resmi soal seperti yang dijanjikan Satpol PP dan pihak kecamatan. "Padahal ini sifatnya wajib sesuai aturan dan demi layanan publik. Kecuali memang ada agenda tersembunyi mereka" kata Peter.
Mengenai alasan Satpol PP Depok yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat kumuh dan melanggar Perda Tibum, menurut Peter sangat dipaksakan dan tak tepat.
"Sebab ukuran dan nilai apa yang dipakai Satpol PP, saat menyatakan PKL menciptakan kekumuhan?," kata Peter.
Hal lain yang menjadi dasar pihaknya melakukan gugatan ke PTUN Jakarta, kata Peter, adalah soal izin pengelolaan parkir yang dipegang Kopera, di lahan parkir pertokoan, yang perpanjangannya ditolak Pemkot Depok.
Kopera adalah koperasi yang dikelola warga sekitar untuk pengelolaan parkir sekaligus pembinaan PKL. Kopera mempekerjakan 60 warga sekitar untuk menangani lahan parkir, sebagai bentuk kearifan lokal.
Menurut Peter, dipastikan penertiban PKL dilakukan karena ada pihak yang ingin menguasai pengelolaan lahan parkir di Ruko Blok A Cinere, dengan dukungan Satpol PP Depok.
Peter menjelaskan keberadaan para PKL di depan pertokoan mereka adalah hasil kearifan lokal dengan persetujuan Camat Limo (sebelum Kecamatan Cinere) dan Lurah Cinere beberapa tahun lalu.
"Bahkan sekitar 2008, negara melalui Menteri Koperasi mempercayakan Kopera yang dikelola warga, agar menyalurkan APBN sebesar Rp 200 Juta untuk kepentingan pembinaan usaha kerakyatan ini dengan realisasi peningkatan sarana perdagangan PKL," katanya yang juga anggota Kopera.
Namun hal ini, katanya, ternyata tidak diindahkan oleh Pemkot Depok. Karena dipastikan ada kepentingan lain dibalik penertiban PKL ini yakni penguasaan lahan parkir. (Budi Malau)