Penertiban Luar Batang
Balada 'Manusia-manusia Perahu' Pasar Ikan
SUDAH sekitar tiga hari Siska bersama keluarganya hidup di dalam perahu.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yurike Budiman
Tribunnews.com - SUDAH sekitar tiga hari Siska bersama keluarganya hidup di dalam perahu.
Rumah kontrakannya rata dengan tanah digilas oleh mesin-mesin raksasa penghancur bangunan.
Tidak ada yang bisa dilakukan Siska kecuali bertahan dan menjadi 'manusia perahu'. Pemprov DKI memang sebelumnya melakukan penertiban dan membongkar rumah-rumah yang tak memiliki surat resmi di kawasan Luar Batang, Jakarta Utara.
Siska sudah beberapa kali diusir dan banyak petugas yang meminta perahu milik suaminya disingkirkan. Bukannya tidak mau pindah ke Rusun Cilincing dan Kali Adem, namun ia menilai kawasan tersebut tidak layak.
"Tadi ada yang datang, minta perahu kita disingkirkan bahkan disuruh ke Cilincing, kita dibilang nyampah di sini. Situ yang bongkar, yang bikin limbah. Kita udah susah dan bukan sampah, sudah tinggal di perahu masih mau diusir juga," ujar Siska.
Nasib yang sama juga dialami Husein, bahkan ia harus berjejalan di dalam perahu bersama sembilan orang saudara kandung dan orangtuanya. Ia bingung harus bagaimana lagi mencari tempat tinggal, hanya perahu yang dianggapnya tepat jadi tempat berteduh atau sekedar bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya.
Siang itu saat ditemui terik panas matahari memang begitu menyengat, Husein yang biasanya melaut kini tidak bisa, kapalnya dijadikan olehnya tempat tinggal. Beberapa kali Husein mencari tempat berteduh bersama anggota keluarga lainnya karena kepanasan.
Sembari berteduh, Husein mengais puing-puing dan besi yang sekiranya bisa ia tukar dengan uang untuk makan sehari-hari. Husein merupakan anak keempat dari 10 bersaudara. Adik-adiknya yang masih kecil dan bersekolah juga masih belum diurus perihal administrasinya.
"Adik-adik saya sekolah ada yang di Luar Batang ada yang di Pinangsia, Kota. Bagaimana kita disuruh pindah lagi, nanti kejauhan akses dan biayanya lebih besar lagi," ujarnya.
Untuk urusan buang hajat lanjut Husein, ia memanfaatkan sisa-sisa bangunan seperti kayu dan seng untuk membuat toilet darurat. "Ada WC di bangunan yang dirobohkan, sudah tidak ada temboknya, atasnya ditutup seng, kalau saya gampang, yang susah kalau perempuan, makanya saya buat begitu,"katanya.
Kalau untuk persediaan air bersih, Husein dan keluarga besarnya membeli jeriken berisi air seharga Rp 1000 untuk satu jeriken. Air dimanfaatkan untuk mandi, mencuci dan urusan kakus.
Lain lagi dengan Sri, warga salah satu warga RT 12 Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia mengeluhkan sekolah anaknya yang jauh dari rusun Rawa Bebek.
Sri pun memilih kembali ke tempat tinggalnya yang lama. Ibu lima anak ini mengatakan banyak kerugian yang ia dapat setelah penggusuran Pasar Ikan Penjaringan.
"Anak saya sudah SMP sekolah di Luar Batang, butuh dua jam lho berangkat sekolah ke sini," ujar Sri saat ditemui di kawasan Luar Batang.
Suami Sri pun kini tidak bisa lagi bekerja mencari ikan dan cumi-cumi. Alhasil, jadilah sang suami pengangguran.