Marak Perceraian di Jakarta, Ini 4 Penyebabnya
Jakarta sebagai kota megapolitan menimbulkan berbagai fenomena sosial salah satunya perceraian.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angka perceraian di kota-kota besar, khususnya di DKI Jakarta terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal itu tampak dari hasil penelusuran Warta Kota di Pengadilan Agama di Jakarta, dimana hingga Agustus 2015 perceraian mengalami kenaikan rata-rata 20 persen.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengaku tidak terkejut dengan adanya peningkatan angka cerai di Jakarta.
Menurutnya, Jakarta sebagai kota megapolitan menimbulkan berbagai fenomena sosial salah satunya perceraian.
Berdasarkan analisanya, setidaknya ada empat faktor yang bisa memicu terjadinya perceraian masyarakat yang tinggal di Jakarta atau di kota-kota satelitnya namun mereka bekerja di Jakarta.
Pertama, karena adanya pergeseran sosial dan budaya.
“Masyarakat perkotaan seakan sudah menganggap cerai sebagai hal yang biasa karena mereka pikir itu sah secara agama dan secara hukum. Esensi pernikahan sebagai ikatan suci terkadang dilupakan karena dikalahkan oleh ego pribadi. Misalnya, seseorang yang tidak merasa cocok dengan pasangan, memilih untuk bercerai tanpa lebih dulu berkonsultasi kepada keluarga besarnya,” jelasnya kepada Warta Kota, Selasa (6/10/2015).
“Ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di pedesaan, dimana masyarakatnya mencoba untuk menghindari perceraian. Bahkan di daerah tertentu status janda atau duda karena cerai bisa menjadi bahan perbincangan orang banyak,” imbuh Devie.
Faktor kedua, soal gaya hidup sebagian besar masyarakat perkotaan.
“Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan terbesar perempuan mengajukan gugatan cerai. Dalam hal ini perlu dicermati, apakah benar pasangan itu kekurangan secara ekonomi.”
"Bisa jadi, ini hanya karena soal gaya hidup atau bahkan keinginan untuk hidup gaya. Jadi, sebenarnya si suami sudah bisa mencukupi kebutuhan primer. Hanya saja, didorong oleh gaya hidup yang tinggi sang istri, suami dianggap gagal mencukupi kebutuhan sekunder seperti mobil, perhiasan, gadget mewah dan sebagainya.”
Faktor ketiga, kata Devie, singkatnya waktu berkumpul bersama keluarga akibat rutinitas masyarakat perkotaan yang cukup tinggi. Dalam hal ini Devie menyoroti peran pemerintah untuk menyediakan transportasi massal atau menekan angka kemacetan di Jakarta.
“Dengan kemacetan yang selalu terjadi, orang-orang berangkat kerja pagi buta agar tidak terlambat kerja. Saat pulang, mereka terjebak macet dan tidak sedikit yang sampai rumah pada tengah malam khususnya mereka yang tinggal di kota-kota satelit seperti Depok, Tangerang, Bekasi atau Bogor.“
“Belum lagi mereka yang memiliki side job di akhir pekan karena didorong tingkat kebutuhan hidup yang tinggi. Jadi, sangat minim waktu buat berkumpul dengan keluarga bahkan rentan terjadi kesalahfahaman antar-pasangan. Hal ini bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga dan bisa berujung ke perceraian,” katanya.
Teknologi
Keempat, adalah faktor teknologi. Menurut Devie, semakin mudahnya seseorang mengakses informasi tanpa bisa menyaringnya dengan baik, justru akan berdampak buruk bagi orang tersebut.
“Tayangan perceraian selebritis yang diekspos berlebihan di acara infotainment kadang bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Mereka bisa saja menilai, begitu mudahnya menikah dan bercerai jika sudah tidak ada kecocokan. Apalagi mengurus perceraian tidaklah sulit.”
"Juga soal banyaknya jejaring sosial yang ada saat ini. Beberapa penelitian di luar negeri bahkan menyebut, sosial media dan gadget menjadi penyebab terjadinya perceraian. Yang banyak terjadi sekarang, seseorang ketika di rumah lebih banyak sibuk dengan gadgetnya ketimbang menyediakan quality time untuk pasangan.”
“Kemudahan berkomunikasi atau mencari teman baru di sosmed juga terkadang membuat keharmonisan rumah tangga retak bahkan berujung perceraian karena seseorang diliputi rasa cemburu ketika pasangannya berhubungan secara berlebihan dengan teman atau kenalannya di sosial media. Bahkan tidak sedikit orang yang awalnya iseng-iseng berkenalan dengan seseorang melalui sosial media, kemudian berujung kepada perselingkuhan,” kata Devie.
Penulis: Feryanto Hadi