Minggu, 5 Oktober 2025

Ny Ainun Habibie Wafat

BJ Habibie: Istri Saya Bertanya... Ada Apa?

Sejarah mencatat, kisah sukses BJ Habibie menduduki kursi RI 1 menggantikan gurunya --Soeharto-- tak lepas dari ketabahan Ny Hasri Ainun Besari dalam menghadapi konflik politik pasca pelimpahan kekuasaan kepada suaminya.

Editor: Achmad Subechi

Ketika itu situasi keamanan nasional sedang amburadul. Kerusuhan terjadi dimana- mana. Amuk massa tak terbendung lagi. Soeharto tahu diri. Ia lengser, lalu menunjuk murid kesayangannya untuk duduk di kursi empuknya. Dibalik alih kekuasaan itu, ada berbagai macam cerita menarik yang tertuang dalam buku ‘Detik-detik yang Menentukan’ karya BJ Habibie. Berikut cuplikannya:

Sirene suara mobil pengawal kepresidenan terdengar meraung-raung di seantero kantor Menristek di kawasan Jl Thamrin, Jakarta. Para karyawan berhamburan melambai-lambaikan tangannya. BJ Habibie yang ada di dalam mobil membalasnya dengan lambaian tangan. Itulah suasana yang sempat saya rekam pada hari-hari pertama BJ Habibie seusai dilantik menjadi Presiden RI.

Pria asal Pare-Pare itu tak mungkin duduk di kursi RI 1 jika tak ada kerusuhan Mei atau tekanan dari mahasiswa yang cukup dasyat terhadap Soeharto. Soeharto sendiri ketika itu sedang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kelompok G-15 di Kairo Mesir, 13-14  Mei 1998.

Sinyal Soeharto akan meninggalkan tampuk kepemimpinan sudah diungkapkan Soeharto di Cairo. Katanya, jika rakyat tidak lagi memberi kepercayaan kepada dirinya sebagai presiden, maka ia siap mundur dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Soeharto mengaku akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan keluarga, anak-anak, dan cucu-cucu.

Selesai mengikuti KTT G-15, tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke tanah air dan mendarat di lapangan Halim Perdanakusuma di Jakarta, subuh dini hari. Menjelang siang hari, Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden BJ Habibie dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.

Sebuah peristiwa langka selama pemerintahan Presiden Soeharto terjadi keesokan harinya. Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Abdul Latief melakukan langkah mengejutkan pada Ahad, 17 Mei 1998. Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.
                                                                                  ***
21 MEI l998. ADC Kolonel (AL) Djuhana, datang ke ruang kerja BJ Habibie. Dia melaporkan bahwa Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita minta berbicara melalui telepon. Ginandjar ketika itu menjabat sebagai salah satu Sekretaris Koordinator Harian Golkar dan Menko Ekuin. Dalam kesempatan itu Ginanjar menyatakan bahwa ia bersama 14 menteri lainnya tidak bersedia duduk di Kabinet Reformasi.

Ke 14 menteri itu adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga dan Tanri Abeng.

“Pertanyaan saya singkat, “Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden?” Ginanjar lalu menjawab, “Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto.”

BJ Habibie kembali bertanya? “Mengapa harus begini? Saya juga bertanya kepada Ginandjar, siapa saja menteri yang tidak hadir? Ginandjar kemudian menyebut satu persatu nama menteri tersebut. Saya katakan, supaya hasil rapat disampaikan juga kepada mereka, agar pendapat mereka bisa didengar,” kata Habibie.

Setelah menerima laporan Ginandjar, Habibie meminta kepada ajudannya agar hari itu tidak diganggu. Namun, sekitar pukul 17.45, ajudan melaporkan bahwa Menteri Keuangan Fuad Bawazier terus mendesak untuk melaporkan sesuatu yang penting.

Melalui telepon Fuad Bawazier bertanya, “Apakah isu yang berkembang bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, benar?” Saya jawab, “Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!”

Fuad Bawazier menjawab bahwa ia sendiri tidak yakin berita itu benar, karena itu, ia ingin langsung mendengar penjelasan dari Habibie. “Kemudian saya balik bertanya kepada Fuad Bawazier mengenai rapat yang diadakan oleh Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita di Bappenas. Jika belum tahu, saya minta ia menghubungi Menko Ekuin untuk mendengar hasil rapat tersebut,” jelasnya.

Habibie kemudian berangkat ke kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Sekitar pukul 19.30, ia tiba di Cendana, dan dipersilakan menunggu. Kebetulan ketika itu Soeharto sedang menerima mantan Wakil Presiden Sudharmono. Habibie ditemani Siti Hediyati Prabowo, putri kedua Pak Harto, istri Prabowo Subianto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Pada kesempatan itu ia bertanya, “Mengapa Prabowo yang sejak tiga hari saya cari tidak datang ke Kuningan? Apakah dia sedang berada di luar negeri?” tanya Habibie kepada Siti Hediyati Prabowo. Mendengar pertanyaan itu, Siti hanya mengatakan bahwa suaminya ada di dalam negeri.

Setelah itu Habibie dipersilakan masuk ke ruangan kerja Soeharto. Sambil membuka sehelai kertas besar berisi nama-nama anggota Kabinet Reformasi, Soeharto meminta agar Habibie mengecek ulang nama-nama tersebut.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved