Kamis, 2 Oktober 2025

Pilpres 2024

MK Tolak Uji Ulang Batas Usia Capres-Cawapres, TKN: Makin Terang Anwar Usman Korban Kambing Hitam

TKN Prabowo-Gibran sambut putusan MK menolak uji ulang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Rabu (29/11/2023).

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Wakil Komandan Tim Echo (Hukum dan Advokasi) Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Habiburokhman saat ditemui awak media di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (9/11/2023) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji ulang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Rabu (29/11/2023).

Putusan ini pun langsung disambut TKN Prabowo-Gibran.

Wakil Komandan Echo TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman menyatakan bahwa keputusan itu semakin meyakinkan Anwar Usman yang dicopot dari Ketua MK menjadi korban kambing hitam dalam kasus tersebut.

"Makin terang dan jelas sebetulnya Pak Anwar Usman ini korban kambing hitam orang yang sengaja dicari kesalahannya karena untuk melakukan legitimasi di keputusan MKMK," kata Habiburokhman kepada wartawan di Media Center Prabowo-Gibran di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2023).

Ia menuturkan bahwasanya putusan gugatan usia capres dan cawapres menjadi di bawah 40 tahun juga dipastikan tidak ada intervensi.
Dengan begitu, putusan pelanggaran berat Anwar Usman dinilai tidak tepat.

Baca juga: Soal Gugatan Anwar Usman, MK Masih Tunggu Pemberitahuan Resmi dari PTUN Jakarta

"Memang sebetulnya tidak tepat putusan pelanggaran berat terhadap Pak Anwar Usman. Di mana putusan inilah yang kemudian dibawa terus dan dikait-kaitkan dengan kami pasangan Prabowo-Gibran, disebut diwarnai dengan cacat hukum, diwarnai dengan etika dan sebagainya," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.

Hal itu dinyatakan dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, di ruang sidang gedung MK RI, pada Rabu (29/11/2023).

Brahma, selaku pemohon memohonkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.

Baca juga: Putusan MK tentang Batas Minimal Usia Cawapres Dinilai Puncak Praktik Politik Dinasti di Indonesia

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

Sehingga seperti putusan MK lainnya, bersifat final dan mengikat.

"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam persidangan, Rabu (29/11/2023).

"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," sambungnya.

Mahkamah juga menyatakan, adanya pelanggaran etik berat yang melibatkan mantan Ketua MK Anwar Usman dalam perumusan Putusan 90 tak serta-merta membuat putusan tersebut dapat disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda, sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MK menilai UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang yang sifatnya lebih umum daripada UU MK yang menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Sebagaimana asas hukum lex specialis derogate lex generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum.

"Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi," ucap Enny Nurbaningsih.

"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus," tuturnya.

Selain itu, MK kemudian menyinggung kembali putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Adapun pada Pasal 358, pada intinya menegaskan bahwa meskipun terdapat pelanggaran etika berat di dalamnya, Putusan 90 telah berkekuatan hukum tetap sesuai prosedur.

Dalam sidang putusan Perkara 141/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Ketua MK Anwar Usman tak dilibatkan mengadili perkara dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hal itu sesuai permohonan Pemohon dan amanat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK), pada 7 November lalu.

Dalam petitum, Brahma meminta agar syarat usia minimum capres-cawapres berbunyi "40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi yakni gubernur dan/atau wakil gubernur".

Brahma menyoroti, dalam perumusan Putusan 90 /PUU-XXI/2023, 5 hakim konstitusi yang menyetujui pengubahan syarat usia minimal capres-cawapres tak bulat pandangannya.

Dari 5 hakim, hanya 3 hakim yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah tingkat apa pun, termasuk gubernur, berhak maju sebagai capres-cawapres.

Namun, 2 hakim lainnya, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak maju sebagai capres-cawapres.

Brahma menilai, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.

Sebab, jika dibaca secara utuh, hanya jabatan gubernur saja yang bulat disepakati 5 hakim tersebut untuk bisa maju sebagai capres-cawapres.

"Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya 3 hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi," kata Brahma.

Brahma menekankan, frasa baru dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim dari 5 suara hakim yang dibutuhkan.

Di sisi lain, melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang terbit pada 16 Oktober 2023 itu, keponakan Anwar sekaligus putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36), berhasil maju di Pilpres 2024 dengan berbekal status Wali Kota Solo yang baru dijabatnya selama 3 tahun.

Gibran disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto, pada 22 Oktober.

Keduanya telah ditetapkan sebagai capres-cawapres dan mendapat nomor urut 2 dari KPU RI, pada tanggal 13-14 November 2023.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved