Pilpres 2024
Kritisi Putusan MK, Pakar: Seakan Beri Perlakuan Khusus Lewat Kalimat 'Pernah Jabat Kepala Daerah'
Pakar komunikasi politik, Emrus Sihombing mengajak publik berpikir kritis terhadap putusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 tersebut.
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas syarat usia capres-cawapres boleh di bawah 40 tahun asal pernah atau sedang menjabat kepala daerah, dinilai sebagai putusan yang sarat mengakomodir hasrat politik kepala daerah tertentu.
Juru Bicara TPN Ganjar Presiden dari Partai Perindo, Tama Satrya Langkun menyinggung putusan MK tersebut kental dengan tujuan menguntungkan kepala daerah tertentu yang saat ini dijagokan maju di Pilpres 2024.
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertajuk 'Keputusan MK, Adil Untuk Siapa' pada Sabtu (21/10/2023).
"Ini (putusan MK) hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," kata Langkun.
Ia menilai putusan MK telah merusak norma hukum yang dijunjung konstitusi. Sebab sebagai open legal policy, perubahan umur minimal capres-cawapres harusnya dikembalikan ke DPR bersama presiden.
"Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden," jelas dia.
Sementara itu advokat dan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menyebut putusan MK berpotensi melanggar UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sehingga dampaknya, putusan MK tersebut bisa menjadi tidak sah dan kehilangan sifat mengikat dengan segala akibat hukumnya sebagaimana ketentuan pasal 17 ayat 6 UU Nomor 48 Tahun 2009.
Menurutnya, jika Gibran jadi dipasangkan sebagai cawapres dengan menggunakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, maka berpotensi digugat lantaran menggunakan putusan yang boleh jadi melanggar ketentuan UU.
"Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah," ungkap Petrus.
Baca juga: Sambut Baik Putusan MK, Ketua Umum GSN: Waktunya Pemimpin Muda Tampil
Pakar komunikasi politik, Emrus Sihombing mengajak publik berpikir kritis terhadap putusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 tersebut.
Emrus mengatakan putusan MK yang menggunakan kata 'atau' bagi kepala daerah bisa maju capres-cawapres menimbulkan pertentangan dengan asas keadilan.
Pasalnya dengan frasa tersebut, MK seakan memberi perlakuan eksklusif terhadap jabatan kepala daerah menjadi capres-cawapres, sekaligus tak menganggap anggota legislatif maupun DPD yang juga dipilih dalam pemilu.
"Artinya apa? MK memberikan suatu privilege (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun," jelas Emrus.
Emrus kemudian mengusulkan lima saran mengakhiri wacana yang tidak produktif terkait putusan MK ini.
Pertama, presiden diminta mengeluarkan Perppu agar siapapun yang menjadi calon presiden/wakil presiden, tanpa memandang jabatan dan latar belakang pengabdian untuk bangsa dan negara dengan usia disamakan minimal 40 tahun.
Kedua, Emrus mengusulkan DPR dan pemerintah mengubah UU yang mengatur usia minimum 40 tahun menjadi calon presiden/wakil presiden. Sehingga tak ada perlakukan khusus semata bagi kepala daerah.
Ketiga, perlu dibentuk Komisi Pengawasan Hakim MK yang punya kewenangan memeriksa hakim konstitusi yang tindakannya tak sesuai UU.
Keempat, perlunya revisi penyebutan hakim sebagai 'Yang Mulia'.
"Kelima, para hakim perlu proaktif mengusulkan agar mereka atau dirinya tidak perlu disebut 'Yang Mulia', cukup dengan sebutan Ibu atau Bapak hakim," tegas Emrus.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.