Senin, 29 September 2025

Eva Sundari & Dr. Epin: Pancasila Harus Hidup dalam Tindakan Nyata

Diskusi di Kompleks Parlemen kupas Feminisme Pancasila, kesetaraan gender Nusantara, dan tantangan menghidupkan nilai luhur di era digital.

Editor: Content Writer
istimewa
FEMINISME PANCASILA - Eva Sundari dalam diskusi bertajuk “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8/2025). Diskusi di Kompleks Parlemen kupas Feminisme Pancasila, kesetaraan gender Nusantara, dan tantangan menghidupkan nilai luhur di era digital. 

TRIBUNNEWS.COM – Di tengah derasnya arus globalisasi dan pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa, relevansi Pancasila kembali dipertanyakan. Masihkah ia hidup dalam praktik sehari-hari, atau hanya menjadi jargon di ruang publik?

Pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Hadir sebagai narasumber, Pendiri Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari, serta Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Epin Saepudin, M.Pd. Diskusi ini dimoderatori penyiar televisi Rahma Sarita Aljufri, SH.

Baca juga: Pancasila, Konstitusi, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Feminisme Pancasila: Kesetaraan Berakar pada Budaya Nusantara

Eva Sundari menilai bahwa di balik hiruk-pikuk politik dan modernisasi, nilai-nilai luhur bangsa kerap terlupakan. Menurutnya, sejak lama Nusantara menyimpan tradisi kesetaraan gender yang tumbuh secara alami dalam masyarakatnya.

Karena itu, ia menggagas Feminisme Pancasila, sebuah konsep bahwa peran perempuan bukanlah produk impor, melainkan jati diri bangsa yang perlu dirawat.

Mantan Anggota DPR RI periode 2004-2019 ini mengungkapkan bahwa gagasan tersebut lahir dari risetnya mengenai kepemimpinan perempuan di Nusantara. Pada masa lalu, banyak tokoh perempuan yang berperan penting, seperti Sultanah di Aceh, Ratu Kalinyamat, Nyi Ageng Serang, hingga Martha Christina Tiahahu.

Namun, masuknya kolonialisme Eropa membawa sistem patriarki yang mendomestikasi peran perempuan, termasuk melalui regulasi di bidang perkawinan dan pendidikan.

Eva menilai, Feminisme Pancasila bisa menjadi alternatif dari feminisme Barat karena berakar pada budaya lokal. Ia juga menegaskan bahwa Pancasila lebih dekat dengan sosialisme bercorak spiritual ketuhanan, yang menekankan solidaritas dan kemanusiaan.

Dia pun mengkritisi rendahnya keterlibatan perempuan dalam institusi negara, seperti hanya sekitar 2 persen di TNI dan 5 persen di Polri. Dominasi anggaran pada sektor militer dan kepolisian dinilai turut memperbesar ketimpangan gender di Indonesia.

Eva menekankan perlunya sistem pendidikan yang mendorong kecerdasan holistik—bukan hanya hafalan, tetapi juga kecerdasan emosional, spiritual, dan daya juang.

“Ketimpangan gender diperburuk oleh kebijakan privatisasi pendidikan dan kesehatan, serta korupsi, karena menjauhkan kita dari cita-cita keadilan sosial. Kita harus kembali ke Pancasila untuk membangun sistem ekonomi dan politik yang adil,” ujarnya.

Ia mengajak bangsa untuk “pulang” ke kepribadian Pancasila agar bisa mencapai kecerdasan spiritual yang mendekatkan manusia pada nilai Illahiah.

Generasi Digital dan Tantangan Hidupkan Nilai Pancasila

Sementara itu, Dr. Epin Saepudin menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila harus dihidupkan dalam kehidupan nyata, bukan sekadar dihafalkan atau dijadikan slogan.

Menurutnya, Pancasila merupakan jati diri sekaligus dasar bangsa Indonesia. Ia mengutip Bung Karno yang menyebut bahwa karakter bangsa menentukan baik-buruknya sebuah negara. Bung Hatta pun menekankan pentingnya kejujuran sebagai fondasi.

“Seringkali kita melihat nilai Pancasila justru hilang di ruang publik, padahal di rumah-rumah masyarakat nilai itu masih hidup,” ujarnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan