Kena Serangan Jantung? Sekonglomerat Apapun, Anda Tetap Butuh Dokter Lokal
otot-otot jantung akan rusak sekira 90 persen pada 6 sampai 12 jam setelah serangan, dan otot akan rusak keseluruhan setelah 12 jam
Seorang pria paruh baya tampak tergeletak di pelataran sebuah rumah sakit. Di dada pria tersebut tampak menempel bagian-bagian dari alat pacu jantung. Sejumlah orang, termasuk perawat dan petugas sekuriti, tampak panik dan sibuk memberikan pertolongan, seorang di antaranya terlihat melakukan teknik CPR. Tak sampai dua menit, usaha mereka hentikan, si pria dinyatakan telah meninggal.
PERISTIWA tersebut terekam jelas dalam sebuah video yang ditayangkan di presentasi dr Dasaad Mulijono dalam acara temu media di Rumah Sakit Bethsaida, Gading Serpong, awal Desember 2018 lalu.
Kepala Cardiac Center Bethsaida Hospitals itu menjelaskan, video tersebut merupakan kejadian nyata yang terjadi di Jepang. Pria yang meninggal tersebut adalah seorang dokter jantung yang baru saja menghadiri seminar seputar penyakit jantung di Jakarta.
Ada beberapa hal yang ingin disampaikan pakar jantung dengan gelar lengkap MBBS (Hons), FIHA, FIMSANZ, FRACGP, FRACP, PhD itu lewat penayangan video tersebut.
Hal pertama, ujar dr Dasaad, adalah betapa mematikannya penyakit jantung yang dapat menyerang siapapun, dokter jantung sekalipun.
“Jangan main-main dengan penyakit jantung, akibatnya bisa fatal. Lebih mengerikan lagi, kerap seseorang tidak merasakan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah saat naik beberapa anak tangga. Pas kena, bisa langsung meninggal kalau penangannya tidak tepat. Lha wong dengan penanganan cepat dan tepat seperti video di atas saja bisa lewat, bagaimana yang tidak?” paparnya lalu tersenyum.
Cepatnya penanganan serangan jantung, kata dr Dasaad, amat diperlukan minimal 6 jam pascaserangan.
Hal ini guna meminimalisir kerusakan pada otot-otot jantung karena kekurangan oksigen saat serangan terjadi.
Tanpa adanya intervensi, otot-otot jantung yang tidak bisa bergenerasi itu akan rusak sekira 80 persen pascaserangan.
Lebih dari itu, otot-otot jantung akan rusak sekira 90 persen pada 6 sampai 12 jam setelah serangan, dan otot akan rusak keseluruhan setelah 12 jam sampai 24 jam usai serangan bila tidak ada tindakan.
“Makanya orang yang kena serangan jantung harus cepat dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan intervensi. Otot jantung tak bisa beregenerasi, kalau itu tersebut kemungkinan akibatnya adalah kematian atau jantungnya rusaknya,” papar dr Dasaad.

Untuk mengetahui sumbatan yang ada di pembuluh darah jantung (coroner), ungkapnya, ada beberapa metode yang saat ini digunakan. Mulai dari ECG/EKG, treadmill, cardiac multi slice CT Scan (MSCT), hingga kateterisasi.
“Yang akurasinya mendekati sempurna adalah kateterisasi, hampir 100 persen atau gold standard. Kalau EKG akurasinya hanya 30 sampai 40 persen, treadmill akurasinya mencapai 40 persen hingga 60 persen, dan MSCT dengan akurasi mencapai 80 persen hingga 90 persen,” jelasnya.
Dia menambahkan, selain faktor genetik dan keturunan, pola hidup dan gaya makan seseorang, serta stres menjadi faktor-faktor penyebab penyakit jantung koroner .
“Karena itu penting sekali untuk melakukan check-up, saya sarankan mulai umur 35-36 tahun. Banyak orang menganggap salah gejala penyakit jantung, ‘saya gak sesak kok, gak sakit dada kok’ padahal bukan itu indikasinya. Begitu kena, seperti maag, lemas, orang bilangnya angin duduk. Padahal itu kena serangan jantung,” jelas dr Dasaad.
Orang Berduit Juga Butuh Edukasi
Hal lain yang ingin disampaikan dr Dasaad dari video yang ditayangkan dalam presentasinya adalah betapa urgennya penanganan penyakit jantung secara cepat.
“Memang nyawa itu di tangan Allah, tapi ikhtiar juga menjadi kewajiban kita lho untuk mengupayakan yang terbaik,” kata dia.
Meski butuh penanganan cepat, kata dia, dari pengalamannya menghadapi banyak pasien dari kalangan atas, justru banyak di antara mereka yang menunda-nunda penanganan karena masalah trust dan kredibilitas medis.
Faktor inilah, kata dr Dasaad, yang memunculkan keprihatinannya akan banyaknya pasien yang membutuhkan penanganan cepat, namun memilih second opinion lewat berobat ke luar negeri meski kualitas dokter dan layanan rumah sakit di Indonesia tak kalah dari luar negeri.
“Saya punya pasien yang punya jet pribadi. Ternyata, punya jet pribadi itu pun takes time untuk terbang. Orang kalau kena serangan jantung lalu maunya ke rumah sakit di Singapura, ya besok sudah ‘lewat’ semua. Sekonglomerat apapun, Anda tetap butuh dokter lokal. Jadi kalangan menengah atas yang notabennya memiliki kemampuan membayar pun butuh edukasi soal ini,” kata dr Dasaad.
Dari pengalamannya juga, dr Dasaad, mengambil sejumlah poin kesimpulan dari alasan-alasan mengapa banyak pasiennya memilih berobat di luar negeri.
Keunggulan teknologi, kemampuan medik, serta faktor keramahan pelayanan umumnya menjadi pendorong utama orang Indonesia berobat ke luar negeri.
“Pada video di atas misalnya, bahkan sekuriti RS di sana bisa melakukan teknik CPR, di kita? Belum tentu. Atau misalnya soal pelayanan, saya pernah dapat komplain pasien gak bisa tidur semaleman. Saya tanya kenapa, pasiennya bilang diminta suster untuk mengamati infus. Dia bilang, “suster bilang ‘kalau infusnya habis panggil saya ya bu’. Jadi saya pantau terus infusnya dan ga bisa tidur”. Faktor-faktor kayak ini kan soal sikap saja ya dan bisa kita tingkatkan,” kata dr Dasaad.
Soal ‘trust’, dr Dasaad menceritakan, seorang pasiennya juga enggan membeli obat di dalam negeri karena takut palsu.
“Padahal obat di sini dengan yang ada di Singapura sama. Ada juga yang secara halus menolak ditangani dokter lokal, padahal kemampuan kita tidak kalah. Hal-hal seperti ini yang butuh concern dari pemerintah,” kata dia.
Akibat tren berobat ke luar negeri, puluhan triliun devisa lari ke luar negeri meski kualitas dokter dan fasilitas medik di Indonesia tak kalah dari luar negeri.
Dalam catatan pribadinya, dr Dasaad menilai Malaysia sebagai saingan terberat Indonesia.
“Karena itu marilah kita, rumah sakit di Indonesia, berlomba-lomba menjadi nomor satu dalam soal pelayanan dan fasilitas. Tak usah lagi meributkan hal-hal yang tidak penting. Kita sudah tertinggal jauh dari negera-negara lain yang sudah berlomba menjadi nomor satu di dunia, lha kita?” ujarnya.
Bethsaida Hospitals Hadirkan Centers of Excellence
Atas keprihatinan tren berobat ke luar negeri itulah pihak Rumah Sakit Bethsaida bertekad untuk memberikan pelayanan paripurna yang tak kalah dari berbagai rumah sakit di luar negeri.
Untuk kasus jantung koroner misalnya, GM Business Development Bethsaida Hospitals, Budi Haryono, mengatakan rumah sakitnya sudah melengkapi diri dengan teknologi canggih. Kompetensi para dokter pun teruji dan berpengalaman di bidangnya.
“Seperti penyakit jantung koroner ini bisa ditangani oleh dokter-dokter yang berpengalaman untuk dilakukannya tindakan kateterisasi jantung, angiografi serta pemasangan ring jantung. Ditambah dengan Dokter dan SDM rumah sakit yang tidak asing lagi dengan adat istiadat, kultur, dan kebiasaan pasien-pasien Indonesia maka harusnya kita bisa memberikan pelayanan yang pastinya lebih baik dibandingkan dengan rumah sakit di luar negeri,” katanya.
Bethsaida Hospitals, kata Budi, juga memperhatikan faktor psikologis dan kebutuhan para keluarga pasien.
“Rumah sakit kami terintegrasi dengan hotel yang masuk jaringan kami. Dilengkapi dengan landasan heli, letak rumah sakit kami yang berada di kota mandiri juga memudahkan keluarga pasien memenuhi kebutuhannya,” kata Budi.
Adapun Bethsaida Hospitals, kata Budi kini memiliki tujuh layanan utama (Centers of Excellence) di antaranya Bethsaida Hospitals Cardiac Center (layanan jantung) dan Bethsaida Hospitals Digestive Center (layanan untuk menangani masalah sistem pencernaan), sebagai solusi atas dua penyakit mematikan di Indonesia.
Selain itu, Bethsaida Hospitals juga memiliki layanan Neuro Radiology Center, Brain & Spine Center, Hyperbaric Center, Trauma Center, Aesthetic Center, dan Dental Center.
“Kami juga memiliki pelayanan penunjang seperti ESWL dan haemodialisa yang jadi rujukan di wilayah kami,” kata manager medis Bethsaida Hospitals, dr Sani Heriani.