Tiru Dialog Bahasa Gaul Drama Korea, 4 Pemuda Korut Ditangkap dan Dihukum Kim Jong Un
Presiden Korea Utara, Kim Jong Un melakukan penangkapan empat pemuda berusia dua puluhan yang kedapatan berbicara layaknya warga Korea Selatan.
TRIBUNNEWS.COM - Gelombang budaya pop Korea Selatan atau yang dikenal hallyu, terus menunjukkan pengaruhnya bahkan hingga ke Korea Utara.
Hallyu (한류), atau yang lebih dikenal sebagai Gelombang Korea (Korean Wave), adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena global penyebaran budaya populer Korea Selatan.
Istilah ini pertama kali diciptakan oleh media Tiongkok pada akhir 1990-an untuk menyebut popularitas drama dan musik pop Korea yang mulai merambah Asia, dan sejak itu telah berkembang menjadi kekuatan budaya dan ekonomi yang luar biasa.
Kim Jong Un telah melakukan segala upaya untuk memberantas penyebarannya, termasuk melarang kaum muda berbicara atau menulis dengan pola bicara yang berbeda dari bahasa sehari-hari mereka.
Aturan ini tercantum dalam Pasal 41 Undang-Undang Jaminan Pendidikan Pemuda yang disahkan pada tahun 2021.
Secara umum, Pasal 41 menyatakan:
“Pemuda tidak boleh berbicara atau menulis dengan pola bicara yang aneh dan bukan pola bicara kita sendiri.”
Ini menjadi landasan hukum yang lebih jelas untuk melarang bahasa gaul dan ekspresi Korea Selatan di kalangan generasi muda Korea Utara.
Bahasa gaul Korea Selatan dilarang digunakan oleh warga Korut lantaran Pemerintah Korea Utara menganggap bahasa dan budaya Korea Selatan sebagai bentuk “pengaruh kapitalis dan imperialis” yang dapat melemahkan kontrol ideologis mereka.
Namun nyatanya bahasa dan ekspresi Korea Selatan diam-diam memasuki kehidupan sehari-hari generasi muda Korut.
Terbaru, sebuah laporan dari sumber Daily NK di Provinsi Hamgyong Utara mengungkap penangkapan empat pemuda berusia dua puluhan di kota Chongjin.
Mereka ditahan oleh petugas keamanan negara setempat hanya karena kedapatan berbicara layaknya warga Korea Selatan.
Penangkapan ini bermula dari laporan seorang warga setempat yang menyaksikan kelompok pemuda tersebut menirukan dialog dari berbagai film dan drama Korea Selatan yang populer.
Baca juga: Daftar 4 Negara yang Pernah Memakzulkan Pemimpinnya: Korea Selatan hingga Indonesia
Kini, keempat pemuda tersebut sedang menjalani interogasi intensif di kantor cabang Kementerian Keamanan Negara kota Chongjin.
Nasib mereka terancam hukuman kerja paksa yang diperkirakan berlangsung antara enam bulan hingga satu tahun.
Tindakan keras ini semakin mempertegas paranoia rezim terhadap infiltrasi budaya asing yang dianggap "non-sosialis".
"Saat ini, anak muda berhati-hati menghindari bahasa Korea Selatan dalam kegiatan resmi karena mereka tahu tentang tindakan keras yang ada, tetapi ketika bersama teman-teman, mereka menggunakannya tanpa ragu—meniru dialog dari film dan acara Korea Selatan," kata sumber tersebut.
"Mereka meniru polanya secara alami, mungkin karena mereka tumbuh besar dengan menonton konten ini," tambahnya.
Di tengah pergaulan akrab, ungkapan-ungkapan populer Korea Selatan seperti jagiya (sayang), oppa (kakak laki-laki, digunakan dengan nada kasih sayang oleh perempuan), daebak (keren), dan jjokpallinda (malu), menjadi bagian tak terpisahkan dari percakapan mereka.
Fenomena ini dianggap menjadi salah satu cara bagi generasi muda Korea Utara untuk mengekspresikan diri.
Tidak hanya itu, bahasa gaul ini mungkin juga sebagai bentuk ejekan terselubung terhadap masyarakat Korea Utara yang dipenuhi pengawasan dan budaya saling melaporkan.
"Pemuda Korea Utara mengadopsi pola bicara Korea Selatan, mengadaptasi apa yang mereka dengar di film dan drama sambil tertawa dan tersenyum," jelas sumber tersebut.
Ketakutan akan konsekuensi hukum yang semakin nyata turut menghantui para orang tua.
Mereka tak dapat menyembunyikan kecemasan dan kekhawatiran saat mendengar anak-anak mereka menggunakan bahasa gaul Korea Selatan.
"Anak muda zaman sekarang terlalu ceroboh. Seakrab apa pun pertemuan itu, kita tidak pernah tahu kapan seseorang akan melaporkan kita ke Kementerian Keamanan Negara, seperti kata pepatah, tembok punya telinga," ujar seorang warga Chongjin berusia empat puluhan dengan nada khawatir.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh seorang warga Hoeryong berusia lima puluhan yang memiliki anak berusia dua puluhan.
"Melihat anak-anak seusia anak saya diseret ke Kementerian Keamanan Negara hanya karena berbicara seperti orang Korea Selatan benar-benar membuat saya takut," jelasnya.
Ia mengatakan bahwa sang anak kerap sekali menggunakan bahasa gaul Korea Selatan.
"Kadang anak saya meniru dialog dari film Korea Selatan, dan meskipun awalnya saya tertawa, saya akhirnya memarahi mereka karena khawatir mereka ketahuan melakukannya di luar. Tapi anak saya hanya mengabaikannya, bilang itu bukan masalah besar, tidak apa-apa," lanjutnya.
Tak hanya itu, ia merasa hukuman ini sangat berat untuk kehidupannya.
"Memikirkan cara memberi makan keluarga saja sudah melelahkan, tapi sekarang saya juga harus memikirkan hal ini. Benar-benar berat," tambahnya.
Fenomena meluasnya penggunaan bahasa gaul Korea Selatan di kalangan pemuda Korea Utara menunjukkan betapa kuatnya daya tarik budaya asing, terutama hallyu, bahkan di negara yang paling tertutup sekalipun.
Namun, penangkapan dan potensi hukuman berat bagi keempat pemuda di Chongjin menjadi pengingat suram akan risiko yang dihadapi oleh mereka yang berani mengadopsi elemen-elemen budaya yang dianggap "mengancam" oleh rezim Kim Jong Un.
Awal Larangan Bahasa Gaul Korea Selatan di Korea Utara
1. Awal Larangan dan Pengendalian Budaya (Sejak 1950-an hingga 1990-an)
Setelah Perang Korea (1950-1953), Korea Utara memperketat kontrol terhadap segala bentuk budaya asing yang dianggap dapat mengancam ideologi negara, terutama budaya Korea Selatan dan Barat.
Pada masa ini, segala bentuk media dan bahasa dari Korea Selatan hampir sepenuhnya dilarang masuk ke Korea Utara.
2. Larangan Bahasa dan Budaya Korea Selatan Makin Ketat (2000-an)
Di era 2000-an, dengan kemajuan teknologi seperti penyebaran ponsel, USB, dan media digital, budaya Korea Selatan, termasuk drama, musik K-pop, dan bahasa gaul, mulai menyusup secara diam-diam ke Korea Utara secara ilegal.
Pemerintah Korut merespons dengan memperketat hukum dan pengawasan, termasuk pelarangan tegas penggunaan bahasa dan ekspresi khas Korea Selatan.
3. Pengesahan Undang-Undang Jaminan Pendidikan Pemuda (2021)
Pada tahun 2021, Korea Utara secara resmi mengesahkan Pasal 41 Undang-Undang Jaminan Pendidikan Pemuda, yang secara khusus melarang kaum muda menggunakan pola bicara atau bahasa “yang aneh dan bukan pola bicara kita sendiri”.
Ini menjadi landasan hukum yang lebih jelas untuk melarang bahasa gaul dan ekspresi Korea Selatan di kalangan generasi muda.
4. Penindakan dan Penangkapan karena Bahasa Gaul Korsel (2022–2025)
Dalam beberapa tahun terakhir, aparat keamanan Korea Utara semakin agresif melakukan penindakan terhadap orang-orang, terutama generasi muda, yang menggunakan bahasa gaul Korea Selatan.
Kasus-kasus penangkapan dan interogasi terkait penggunaan kata-kata khas Korea Selatan seperti "jagiya," "oppa," dan "daebak" mulai dilaporkan, termasuk kasus empat pemuda yang ditangkap di Chongjin pada 2025.
Alasan Korut Larang Pakai Bahasa Gaul Korea Selatan
Larangan penggunaan bahasa gaul Korea Selatan di Korea Utara bukan sekadar soal linguistik, itu adalah bagian dari strategi besar rezim Kim Jong Un untuk menjaga kontrol ideologi, identitas nasional, dan stabilitas kekuasaan.
Berikut adalah alasan-alasan utamanya:
- Menjaga Ideologi Sosialis: Pemerintah Korea Utara menganggap bahasa dan budaya Korea Selatan sebagai bentuk “pengaruh kapitalis dan imperialis” yang dapat melemahkan kontrol ideologis mereka.
- Kontrol Sosial dan Politik: Bahasa gaul Korea Selatan sering diasosiasikan dengan gaya hidup bebas dan budaya pop yang bertentangan dengan norma ketat Korea Utara.
- Menghindari Pengaruh Budaya Asing: Larangan ini bagian dari upaya menutup akses warganya terhadap konten asing yang dianggap dapat menimbulkan perlawanan atau ketidakpuasan terhadap rezim.
Landasan Hukum Larangan Menggunakan Bahasa Gaul Korea Selatan
Pada tahun 2020 dan 2021, Korea Utara mengesahkan beberapa undang-undang baru, termasuk:
- Undang-Undang Pencegahan Pemikiran dan Budaya Reaksioner
- Undang-Undang Jaminan Pendidikan Pemuda (Pasal 41)
Yang secara eksplisit melarang konsumsi dan penyebaran konten asing, termasuk pola bicara yang dianggap "non-sosialis".
Konsekuensi Pelanggaran
Pelanggaran Pasal 41 dapat dikenakan:
- Interogasi oleh Kementerian Keamanan Negara
- Pendidikan ulang ideologis
- Kerja paksa selama 6 bulan hingga 1 tahun
- Pencatatan sebagai “pengaruh buruk” dalam catatan keluarga (songbun)
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Korea Utara dan Korea Selatan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.