Top Rank
Daftar 4 Negara yang Pernah Memakzulkan Pemimpinnya: Korea Selatan hingga Indonesia
Sejumlah negara di dunia memakzulkan pemimpin mereka akibat adanya indikasi skandal korupsi maupun pengkhianatan terhadap konstitusi dan negara.
TRIBUNNEWS.COM - Saat ini, wacana pemakzulan tengah mewarnai dinamika politik Indonesia.
Faktor pemakzulan pun beragam, mulai dari pelanggaran hukum karena tersandung skandal korupsi hingga indikasi pengkhianatan terhadap negara atau tindak pidana berat lainnya.
Secara harfiah, pemakzulan atau dalam bahasa Inggris disebut impeachment berarti proses pemberhentian seorang pejabat publik, khususnya presiden atau wakil presiden, dari jabatannya sebelum masa jabatan berakhir.
Desakan untuk pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka mencuat ke permukaan setelah pernyataan sikap dari Forum Purnawirawan TNI.
Ada beberapa alasan mengapa forum yang terdiri atas 241 jenderal tersebut mendesak agar Gibran diganti.
Gibran dituntut untuk turun dari kursi Wakil Presiden RI karena penetapannya dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang cacat hukum.
Putusan MK tersebut dinilai telah melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh paman Gibran sendiri, Anwar Usman, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK.
Terlebih, Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga menyatakan Anwar Usman telah melanggar kode etik dalam putusan tersebut sehingga diberhentikan dari jabatan Ketua MK.
Selain itu, Gibran dinilai tidak memiliki kapasitas sebagai wakil presiden karena pengalamannya yang minim, hanya dua tahun menjabat Wali Kota Solo.
Alasan lain mengapa Gibran harus dicopot menurut Forum Purnawirawan TNI adalah soal etika, terlebih mengenai akun "Fufufafa" yang diduga kuat milik suami Selvi Ananda itu.
Baca juga: Jokowi Diserang Isu Ijazah hingga Pemakzulan Gibran, Pengamat: PSI Setia tapi Masih Kurang Militan
Berikut ini deretan negara yang pernah memakzulkan pemimpin mereka:
1. Indonesia
Indonesia sendiri pernah memakzulkan presiden hingga lengser dari kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir.
Yakni, pada masa Presiden RI ke-4, mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gus Dur sendiri merupakan pemimpin Indonesia di masa transisi setelah reformasi.
Ia dikenal sebagai tokoh pluralis dan pemimpin yang mempromosikan nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia.
Gus Dur menjabat sebagai presiden setelah terpilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999, menggantikan BJ Habibie, lalu resmi dilantik pada 20 Oktober 1999.
Namun, masa jabatan Gus Dur sebagai presiden hanya berlangsung singkat, tak sampai dua tahun penuh.
Gus Dur dimakzulkan pada 23 Juli 2001 oleh MPR melalui sidang istimewa.
Dalam sidang istimewa MPR tersebut, Gus Dur dinyatakan telah menyalahi haluan negara.
Selain itu, kebijakannya sering dianggap kontroversial dan tidak populer, sehingga ia kehilangan dukungan dari DPR.
Dilansir Kompas.com, selama menjabat sebagai presiden, Gus Dur juga digoyang dua skandal besar, yakni kasus Buloggate dan Bruneigate
Meski begitu, sampai saat ini Gus Dur tidak terbukti secara hukum melakukan korupsi dalam skandal Buloggate maupun Bruneigate yang muncul pada 2000.
Di sisi lain, kabar Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden akibat skandal tersebut telah dibantah oleh putrinya, Yenny Wahid.
"Momen ini sekaligus buat pelurusan sejarah bahwa Gus Dur diturunkan bukan karena kasus korupsi, melainkan karena ketegangan antara DPR/MPR dan pemerintah saat itu," kata Yenny di kediaman Gus Dur, Ciganjur, Jakarta, Kamis (29/11/2012).
Yenny mengatakan, ketegangan antara lembaga legislatif dan eksekutif saat itu karena pergantian kepala Polri.
Saat itu, Gus Dur mengganti Kapolri Jenderal (Pol) R Suroyo Bimantoro dengan Jenderal (Pol) Chairudin Ismail tanpa sepengetahuan legislatif.
Menurut Yenny, hal itu membuat legislatif marah.
"Itu karena Gus Dur tidak berkonsultasi dengan mereka (legislatif). Jadi bukan karena kasus korupsi," tuturnya.
Setelah Gus Dur dimakzulkan, wakilnya, Megawati Soekarnoputri, pun diangkat menjadi Presiden RI pada Juli 2001 hingga 2004.
2. Korea Selatan
Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan resmi memakzulkan Presiden Yoon Suk Yeol dari jabatannya pada Jumat (4/4/2025).
Dengan pemakzulan ini, ketidakpastian dan perselisihan hukum imbas dari keputusan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer (martial law) pada 3 Desember 2024 berakhir.
Putusan MK Korea Selatan pun menyatakan bahwa deklarasi martial law Yoon Suk Yeol adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, dan melampaui kewenangan konstitusionalnya.
Adapun pengumuman darurat militer yang disampaikan Yoon Suk Yeol telah memunculkan kembali trauma negara tersebut atas otoritarianisme pemerintahan di masa lalu.
Saat diumumkan mendadak pada 3 Desember 2024, darurat militer tersebut memicu kegemparan publik dan kekacauan melanda Korea Selatan selama hampir enam jam.
Deklarasi darurat militer tersebut adalah yang pertama setelah darurat militer 45 tahun lalu, yakni pada tahun 1979.
Sementara itu, akibat deklarasi militernya, Yoon Suk Yeol juga akan menghadapi ancaman penahanan, hukuman penjara, atau yang paling buruk, hukuman mati.
Setelah darurat militer, Majelis Nasional Korea Selatan menyetujui mosi pemakzulan dengan dukungan 204 dari 300 anggota parlemen pada 14 Desember 2024.
Setelah voting ini, Yoon Suk Yeol langsung ditangguhkan dari jabatan presiden, sementara menunggu putusan dari MK Korea Selatan.
Hingga akhirnya, pada 4 April 2025, MK mengesahkan pemakzulan, sehingga Yoon Suk Yeol resmi dinyatakan diberhentikan dari jabatannya
Setelah putusan MK yang memakzulkan Yoon Suk Yeol, digelarlah pemilihan presiden snap election pada 3 Juni 2025 di mana Lee Jae Myung terpilih sebagai Presiden Korea Selatan yang baru.
Yoon Suk Yeol bukan satu-satunya politisi Korea Selatan yang menghadapi pemakzulan dalam beberapa bulan terakhir.
Perdana Menteri (PM) Han Duck-soo kembali menjabat sebagai pemimpin sementara Korea Selatan saat Yoon Suk Yeol ditangguhkan jabatannya setelah deklarasi darurat militer.
Han Duck-soo sendiri pernah dimakzulkan karena langkahnya menghalangi pengangkatan hakim baru ke Mahkamah Konstitusi.
Pada 2017, Mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye juga dipaksa lengser dari jabatannya karena diduga terlibat dalam skandal korupsi yang juga menyeret seorang teman dekatnya.
3. Iran
Seyyed Abolhassan Banisadr adalah presiden pertama Iran pasca-Revolusi Islam 1979.
Ia terpilih pada Januari 1980 dengan dukungan besar, tetapi tidak berasal dari kelompok ulama.
Ia juga sering berselisih dengan Ayatollah Ruhollah Khomeini dan partai Islamis dominan, Partai Republik Islam.
Selain itu, Banisadr mengkritik peran ulama dalam pemerintahan, menyebut dominasi mereka tidak sesuai dengan cita-cita revolusi.
Kemudian, ketegangan meningkat saat Perang Iran–Irak meletus pada September 1980, di mana Banisadr dituduh gagal menangani perang dengan efektif.
Pada 21 Juni 1981, Majelis Islam Iran memakzulkan Banisadr, dengan alasan inkompetensi dan pelanggaran konstitusi.
Keputusan pemakzulan ini pun disetujui oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini satu hari setelahnya, sehingga Seyyed Abolhassan Banisadr resmi lengser dari kursi Presiden Iran.
Setelah Seyyed Abolhassan Banisadr dimakzulkan, Mohammad Ali Rajai terpilih sebagai presiden Iran selanjutnya.
Namun tragisnya, Ali Rajai hanya menjabat dari 2 Agustus 1981 hingga akhir bulan tersebut, sebelum tewas dalam serangan bom.
Adapun setelah dimakzulkan, Seyyed Abolhassan Banisadr bersembunyi, dan pada 29 Juli 1981, ia melarikan diri ke Prancis dengan bantuan kelompok militan Mujahedin-e Khalq.
Ia hidup di pengasingan di dekat Paris hingga wafat pada 9 Oktober 2021.
4. Brazil
Ada dua presiden Brazil yang pernah dimakzulkan dari jabatan mereka, yakni Fernando Affonso Collor de Mello dan Dilma Rousseff.
Pertama, Fernando Affonso Collor de Mello adalah Presiden Brasil ke-32 yang berkuasa pada 1990-1992 sekaligus kepala negara pertama setelah pemerintahan militer .
Saat berkuasa, ia tersandung skandal diduga menerima jutaan dollar AS dari korupsi besar yang dijalankan oleh ajudannya, Paulo César Farias.
Kemudian, ia menghadapi persidangan pemakzulan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Brasil, hingga akhirnya pemakzulan disetujui pada 29 September 1992.
Namun, sebelum senat mengeluarkan putusan, Fernando Affonso Collor de Mello mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 29 Desember 1992.
Kemudian, ia menjalani persidangan dakwaan atas dugaan korupsi dan dijatuhi sanksi berupa larangan memegang jabatan publik selama delapan tahun (1992-2000).
Kedua, Dilma Rousseff yang merupakan Presiden Brazil ke-36 sekaligus presiden wanita pertama Brazil.
Ia dimakzulkan pada 31 Agustus 2016 setelah Senat melakukan pemungutan suara.
Pemakzulan ini dilatarbelakangi oleh tuduhan pelanggaran undang-undang anggaran negara dan krisis politik yang melanda Brasil saat itu.
Dilma Rousseff dituduh melanggar undang-undang anggaran Brasil dengan melakukan "pedaladas fiscais," yaitu praktik menunda pembayaran kepada bank-bank pemerintah untuk menutupi defisit anggaran.
Kemudian, tuntutan pemakzulan datang dari oposisi dan didukung oleh sebagian besar anggota parlemen.
Akan tetapi, Dilma Rousseff telah membantah tuduhan itu dan menyebutnya sebagai kudeta.
Setelah Dilma Roussef dimakzulkan, kursi Presiden Brazil ditempati oleh Michel Temer hingga akhir Januari 2019.
Surat Pemakzulan Gibran Sudah Dikirim ke DPR
Diketahui, Forum Purnawirawan TNI telah melayangkan surat agar desakaan pemakzulan Gibran segera diproses ke MPR RI dan DPR RI.
Namun, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyebut pihaknya masih mempelajari surat usulan pemakzulan Gibran.
Dia menegaskan, DPR akan melihat terlebih dahulu seperti apa mekanisme yang berlaku dalam menangani surat tersebut.
"Prosesnya itu masih dalam mekanisme yang ada," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025)
"Kita sedang melihat apakah itu akan diproses seperti apa, bagaimana, dan sampai saat ini kita sedang melihat apakah itu memang surat yang bisa kami proses dengan mekanisme seperti apa," lanjutnya.
Desakan Pemakzulan Pernah Dialami Jokowi
Uniknya, desakan pemakzulan juga menerpa ayahanda Gibran Rakabuming Raka, Joko Widodo (Jokowi), saat menjabat sebagai Presiden RI di periode kedua (2019-2024).
Awal 2024, seruan pemakzulan muncul dari sejumlah tokoh masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100 karena Jokowi dinilai telah melakukan dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024.
Bahkan, Petisi 100 mengunjungi Mahfud MD yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam) untuk meminta pemakzulan Jokowi.
Faizal Assegaf, salah satu anggota Petisi 100, menuding pemerintahan Jokowi melakukan "praktik kekuasan yang korup dan berwatak dinasti politik."
"Tujuan mencegah kejahatan politik cawe-cawe Jokowi dan keluarga intinya… Cara untuk menghentikan intervensi kekuasaan Jokowi dalam Pilpres adalah pemakzulan," kata Faizal dalam keterangannya kepada BBC.
Namun, Jokowi tetap kebal dari tuntutan pemakzulan dan tetap menjabat sebagai Presiden RI hingga terminnya berakhir alias ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2024.
Artikel ini diolah dari berbagai sumber: BBC, CNN, World Atlas
(Tribunnews.com/Rizki A./Dewi Agustina/Chaerul Umam) (BBC News Indonesia via Tribunnews.com) (Kompas.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.