Rabu, 1 Oktober 2025

Rusuh di Amerika Serikat

5 Tahun Kematian George Floyd, Narasi Palsu soal Overdosis Masih Beredar

Lima tahun setelah George Floyd tewas, klaim palsu soal overdosis masih dipakai untuk bela Chauvin.

Stephen Maturen / Getty Images via AFP
GEORGE FLOYD. - Potret George Floyd digantung di pagar di luar Pusat Pemerintah Hennepin pada 1 April 2021 di Minneapolis, Minnesota. (Foto arsip 2021/Stephen Maturen / Getty Images via AFP) 

TRIBUNNEWS.COM - Lima tahun setelah George Floyd tewas saat ditangkap polisi kulit putih di Amerika Serikat (AS), misinformasi tetap menyebar.

Peristiwa yang terjadi pada 25 Mei 2020 itu memicu protes global terhadap kebrutalan polisi dan rasisme.

Floyd, pria kulit hitam berusia 46 tahun, meninggal usai lehernya ditindih lutut Derek Chauvin selama sekitar sembilan menit.

Video kejadian itu menjadi bukti penting dalam vonis pembunuhan Chauvin.

Narasi tandingan segera muncul, menyebut Floyd meninggal karena overdosis narkoba.

Narasi ini kembali mencuat dalam seruan agar Chauvin diberi pengampunan oleh Presiden Donald Trump.

Anggota DPR AS dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, bahkan menyebut Floyd meninggal akibat obat-obatan.

Padahal dua laporan otopsi menyimpulkan bahwa Floyd tewas karena pembunuhan, bukan overdosis.

Meski ditemukan fentanil dalam tubuh Floyd, laporan medis menyatakan penyebabnya adalah serangan jantung akibat penahanan paksa.

Klaim overdosis diperkuat tokoh konservatif seperti Tucker Carlson dan Candace Owens sejak 2020.

Menurut ahli, penyebaran narasi ini dipengaruhi rasisme sistemik dan upaya delegitimasi gerakan keadilan rasial.

Baca Selanjutnya: Tagar justiceforgeorgefloyd trending soroti pria kulit hitam yang meninggal diinjak polisi

Rachel Kuo dari University of Wisconsin menyebut misinformasi ini digunakan untuk membenarkan stereotip kriminalisasi orang kulit hitam.

Setelah penyelidikan federal pada 2023, Departemen Kehakiman AS menemukan pola pelanggaran HAM oleh polisi Minneapolis.

Algoritma media sosial terus memperluas jangkauan narasi palsu demi klik dan visibilitas.

Film dokumenter Candace Owens dan pernyataan rapper Kanye West turut menyebarkan kembali kebohongan lama ini.

Ahli komunikasi digital menyebut internet telah menjadi alat yang mempercepat penyebaran misinformasi rasis.

Ramesh Srinivasan dari UCLA menilai sistem media sosial memberi ruang lebih besar bagi konten ekstrem dan provokatif.

Deen Freelon dari University of Pennsylvania menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap misinformasi.

Karena menurutnya, korban terbesar dari kebohongan adalah mereka yang selama ini paling terdampak diskriminasi.

Kronologi Kasus Kematian George Floyd

Pada 25 Mei 2020, George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, ditangkap oleh polisi di Minneapolis, Minnesota.

Ia diduga menggunakan uang palsu senilai 20 dolar di sebuah toko swalayan bernama Cup Foods.

Dua petugas polisi, Thomas Lane dan J Alexander Kueng, mendatangi lokasi dan menemukan Floyd berada di dalam mobil.

Mereka meminta Floyd keluar, memborgolnya, dan mencoba memasukkannya ke dalam mobil patroli.

Baca Selanjutnya: Kematian george floyd trump fbi departemen kehakiman sudah saya perintahkan lakukan penyelidikan

Floyd menolak masuk, mengatakan bahwa ia merasa sesak napas dan takut ruang sempit.

Dua petugas tambahan, Derek Chauvin dan Tou Thao, tiba untuk membantu.

Saat Floyd berada di tanah, Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya selama 9 menit 29 detik.

Selama proses itu, Floyd berulang kali berkata, “Saya tidak bisa bernapas,” namun Chauvin tetap menekannya.

Floyd akhirnya kehilangan kesadaran dan tidak merespons.

Ia dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian.

Keesokan harinya, 26 Mei 2020, video penangkapan brutal itu beredar luas di media sosial dan memicu kemarahan publik.

Empat petugas yang terlibat langsung dipecat dari Kepolisian Minneapolis.

Protes besar-besaran pecah di Minneapolis dan segera menjalar ke seluruh Amerika Serikat bahkan ke berbagai negara lain.

Pada 29 Mei 2020, Derek Chauvin ditangkap dan didakwa atas pembunuhan tingkat tiga serta pembunuhan tidak disengaja.

Beberapa hari kemudian, dakwaan ditingkatkan menjadi pembunuhan tingkat dua.

Pada Juni 2020, tiga petugas lain—Thao, Kueng, dan Lane—juga didakwa karena membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan.

Hasil otopsi resmi menyebutkan Floyd meninggal karena henti jantung selama penahanan.

Otopsi independen yang diminta keluarga menyimpulkan bahwa Floyd tewas karena sesak napas akibat tekanan di leher dan punggung.

Baca Selanjutnya: Kematian george floyd di minneapolis disorot agnez mo justin bieber gigi hadid hingga taylor swift

Sidang Derek Chauvin dimulai pada 8 Maret 2021 dengan proses pemilihan juri.

Persidangan resmi berlangsung sejak 29 Maret 2021 dan disiarkan langsung ke publik.

Pada 20 April 2021, juri memutuskan Chauvin bersalah atas ketiga dakwaan terhadapnya: pembunuhan tingkat dua, pembunuhan tingkat tiga, dan pembunuhan tidak disengaja.

Putusan ini disambut dengan lega oleh banyak pihak yang telah mengikuti kasus ini dengan penuh perhatian.

Pada 25 Juni 2021, hakim menjatuhkan hukuman 22,5 tahun penjara kepada Derek Chauvin.

Setahun kemudian, pada 2022, Chauvin juga mengaku bersalah dalam dakwaan federal atas pelanggaran hak sipil George Floyd.

Ia dijatuhi tambahan hukuman 21 tahun penjara yang dijalani bersamaan dengan hukuman sebelumnya.

Tiga petugas lainnya—Thao, Kueng, dan Lane—juga menjalani sidang terpisah di pengadilan federal dan negara bagian sepanjang 2022 dan 2023.

Mereka dinyatakan bersalah karena tidak menghentikan tindakan Chauvin dan membiarkan Floyd mati.

Mereka masing-masing dijatuhi hukuman penjara antara 2,5 hingga 3,5 tahun.

Kematian George Floyd menjadi simbol ketidakadilan rasial di Amerika Serikat.

Peristiwa ini memicu gerakan global “Black Lives Matter” dan mendorong reformasi di berbagai lembaga penegak hukum.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved