Minggu, 5 Oktober 2025

Kondisi Politik Tunisia: Ali Larayedh dan Penjara 34 Tahun

Hukuman 34 tahun Ali Larayedh menambah ketegangan politik di Tunisia. Simak alasannya!

YouTube FRANCE 24 English
DIPENJARA. Gambar diambil dari YouTube France 24 English Sabtu (3/5/2025), video wawancara ini diunggah pada 25 Mar 2013, menunjukkan Taoufik Mjaied berbicara kepada Perdana Menteri Tunisia, Ali Larayed. Siapa yang membunuh Chokri Belaïd? Apakah Anda setuju untuk diadili oleh hakim? Apa posisi Anda terkait Liga Perlindungan Revolusi? Berikut ini beberapa pertanyaan yang diajukan Taoufik Mjaied kepada Perdana Menteri. Wawancara dengan tokoh Prancis atau internasional dari dunia ekonomi, politik, budaya, atau diplomasi. 

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Perdana Menteri Tunisia, Ali Larayedh, baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara selama 34 tahun oleh pengadilan di Tunisia.

Hukuman ini datang setelah Larayedh dituduh terlibat dalam memfasilitasi keberangkatan warga negara Tunisia untuk bergabung dengan kelompok militan di Suriah selama masa jabatannya.

Ia menjabat sebagai Perdana Menteri dari tahun 2013 hingga 2014 dan dikenal sebagai tokoh senior dalam partai Islamis moderat, Ennahda.

Apa Tuduhan yang Dikenakan kepada Ali Larayedh?

Larayedh, yang telah ditahan sejak 2022, membantah semua tuduhan yang dikenakan kepadanya.

Dalam persidangan, ia menekankan bahwa dirinya tidak pernah mendukung atau mentolerir tindakan terorisme.

Ia bahkan menyebut hukuman yang dijatuhkan padanya sebagai bentuk balas dendam politik oleh pihak berwenang yang saat ini berkuasa.

Kasus Larayedh tidak berdiri sendiri.

Media pemerintah Tunisia, TAP, melaporkan bahwa tujuh terdakwa lainnya juga dijatuhi hukuman penjara dengan rentang antara 18 hingga 36 tahun dalam kasus yang sama.

Mereka dituduh terlibat dalam jaringan perekrutan dan pengiriman pejuang ke zona konflik di Timur Tengah.

Bagaimana Tanggapan Partai Ennahda dan Organisasi Hak Asasi Manusia?

Partai Ennahda dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa semua proses hukum ini bermotif politik.

Mereka mengeklaim bahwa pemerintah sedang berusaha membungkam oposisi melalui sistem peradilan.

Dalam hal ini, organisasi hak asasi manusia internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International mengecam tindakan ini, menyebut penahanan Larayedh dan tokoh oposisi lainnya sebagai bentuk penyalahgunaan hukum.

Apa Konsekuensi Politik dari Kasus Ini?

Kasus hukuman Larayedh adalah bagian dari konteks yang lebih luas di Tunisia, di mana kritik terhadap pemerintahan Presiden Kais Saied semakin meluas.

Sejak mengambil alih kekuasaan pada tahun 2019, Saied telah memperluas kekuasaannya dengan membubarkan parlemen dan memerintah melalui dekrit setelah Juli 2021.

Langkah-langkah ini telah memicu kritik baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional yang melihatnya sebagai kemunduran demokrasi.

Para pengamat politik di Tunisia memperkirakan bahwa hukuman Larayedh akan semakin memperdalam ketegangan antara pemerintah dan oposisi.

Banyak yang beranggapan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mengeliminasi kekuatan politik saingan menjelang pemilihan umum mendatang.

Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Sosial di Tunisia Saat Ini?

Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk dan meningkatnya ketidakpuasan publik, tekanan terhadap pemerintahan Saied semakin besar.

Ennahda, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa mereka tidak akan berhenti memperjuangkan demokrasi dan supremasi hukum, serta menyerukan pembebasan semua tahanan politik.

Komunitas internasional, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat, telah menyatakan keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tunisia, namun hingga saat ini belum ada tindakan konkret yang diambil untuk menekan pemerintah Tunisia agar melakukan reformasi.

Kesimpulan: Apakah Ini Pertanda Kembalinya Era Represif?

Hukuman 34 tahun terhadap Ali Larayedh menjadi simbol dari apa yang oleh banyak pihak disebut sebagai kembalinya Tunisia ke era represif pra-2011.

Setelah revolusi rakyat yang menggulingkan diktator Zine El Abidine Ben Ali pada tahun 2011, Tunisia awalnya dianggap sebagai salah satu keberhasilan demokratis dari gelombang Arab Spring.

Namun, harapan itu kini terancam memudar seiring dengan meningkatnya otoritarianisme dan tindakan represif terhadap kebebasan sipil.

Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved