Kamis, 2 Oktober 2025

Konflik Iran Vs Israel

Soal Perundingan Nuklir AS-Iran, PM Israel Netanyahu Sodorkan 'Opsi Libya', Apa Itu?

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan 'opsi Libya' untuk persoalan program nuklir Iran.

Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Nuryanti
YouTube The White House
TRUMP DAN NETANYAHU - Tangkapan layar The White House pada Selasa (8/4/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) dan Presiden AS Donald Trump (kanan) melakukan konferensi pers di Ruang Oval, Gedung Putih, pada hari Senin (7/4/2025). 

TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyodorkan “opsi Libya” agar digunakan dalam perundingan Amerika Serikat (AS) dengan Iran mengenai program nuklir Iran.

“Opsi Libya” disampaikan beberapa kali oleh Netanyahu ketika dia berkunjung ke Gedung Putih untuk menemui Presiden AS Donald Trump.

AS sudah meminta Iran untuk duduk di meja perundingan. Trump mengancam akan menyerang Iran jika perjanjian baru tentang nuklir tidak tercapai.

Menurut Netanyahu, Israel maupun AS sama-sama ingin mencegah Iran memiliki senjata nuklir.

“Hal itu bisa dilakukan secara diplomatis, dengan cara sepenuhnya, dengan cara yang dilakukan di Libya,” kata Netanyahu dikutip dari All Israel News.

Pernyataan Netanyahu itu merujuk kepada perjanjian tahun 2003 yang di dalamnya Libya secara sukarela menghentikan program pengembangan senjata nuklirnya.

“Namun, apa pun yang terjadi, kita harus memastikan Iran tidak punya senjata nuklir.”

NETANYAHU BERPIDATO - Foto ini diambil dari Instagram Netanyahu pada Selasa (25/3/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam Hamas dan bersumpah akan mengembalikan sandera dari Gaza.
NETANYAHU BERPIDATO - Foto ini diambil dari Instagram Netanyahu pada Selasa (25/3/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam Hamas dan bersumpah akan mengembalikan sandera dari Gaza. (Instagram @b.netanyahu)

Sebelum pergi dari AS, PM Israel kembali menyinggung Libya sebagai contoh. Dia mengatakan solusi diplomatik memang memungkinkan.

“Tetapi hanya jika solusi itu adalah perjanjian gaya Libya, ketika mereka masuk, menghancurkan fasilitas, membongkar semua peralatan di bawah pengawasan Amerika,” kata dia.

“Pilihan kedua ialah bahwa hal itu tidak akan terjadi. Dalam kasus itu, pembicaraan benar-benar mandek dan tidak ada pilihan lain kecuali tindakan militer.”

Seperti Netanyahu, Trump juga sudah menyinggung opsi tindakan militer jika perundingan dengan Iran gagal. Trump mengatakan Iran lebih baik setuju untuk berunding.

Baca juga: Puji Iran, Eks Dubes Israel: Iran Negosiator Kelas Dunia, Israel Punya Alasan untuk Cemas

“Saya pikir jika pembicaraan dengan Iran tidak berhasil, Iran akan berada dalam bahaya besar, dan saya benci harus mengatakannya, karena mereka tidak boleh punya senjata nuklir,” kata Trump.

Sekilas tentang “opsi Libya

“Opsi Libya” yang disampaikan Netanyahu merujuk kepada perjanjian yang menyasar program nuklir Libya.

Libya di bawah kepemimpinan Muammar Gaddafi mengupayakan program nuklir secara diam-diam setidaknya sejak akhir tahun 1970-an.

Teknologi dan material untuk program itu didapatkan secara ilegal karena adanya pembatasan. Libya saat itu dianggap sebagai salah satu negara yang paling terisolasi, mirip seperti Korea Utara.

Setelah invasi AS ke Irak tahun 2003, Presiden AS George W. Bush berusaha membatasi penyebaran senjata nuklir.

Dengan bantuan Inggris, Bush memilih Libya sebagai contoh targetnya. AS memilih menggunakan diplomasi, bukan sanksi atau tindakan militer, agar Libya menghentikan program nuklirnya.

Libya diyakinkan agar meninggalkan programnya itu. Pada bulan Desember 2003 tercapai kesepakatan yang isinya Libya setuju untuk menyudahi program nuklirnya.

Libya juga sepakat untuk menghancurkan semua infrastruktur atau material program nuklir, termasuk fasilitas pengayaan uranium.

Di samping itu, Libya berkomitmen menghentikan program senjata pemusnah massal lainnya, termasuk fasilitas penelitian kimia dan biologi.

Sebagai imbalan atas penghentian program senjata, sanksi yang dijatuhkan oleh AS dan Inggris kepada Libya dicabut. Libya juga diizinkan kembali untuk berdagang minyak di pasar dunia.

Baca juga: Bersiap Hadapi Serangan AS-Israel, Iran Akan Bangun Pangkalan Baru Armada Drone

Perusahan minyak Barat seperti BP dan Shell diizinkan beroperasi di Libya sehingga negara itu mendapatnya banyak investasi untuk pemulihan ekonomi.

Terakhir, AS dan Inggris memulihkan hubungan diplomatik dengan Libya secara penuh.

Israel disebut khawatir

Michael Oren, mantan Duta Besar Israel untuk AS, menganggap perundingan Iran dengan AS akan menjadi hal yang krusial bagi Israel.

Kata dia, Israel punya alasan untuk takut atau khawatir akan perundingan nuklir itu.

“Pertanyaan pertama adalah berapa lama perundingan itu akan berlanjut,” ujar Oren.

“Pertanyaan kedua adalah apa  tujuan perundingan itu. Apakah akan terwujud perundingan yang hanya sedikit lebih baik daripada perundingan tahun 2015 dan sekali lagi menunda program nuklir Iran untuk sementara waktu? Terakhir, apa sikap AS jika perundingan gagal?” tanya dia.

Dia menyatakan pertanyaan di atas sangat penting bagi keamanan Israel. Lalu, dia memuji kemampuan Iran dalam berunding.

“Orang-orang Iran adalah negosiator kelas dunia dan pastinya akan berusaha menyeret mereka cukup jauh agar memungkinkan Rusia untuk membangun kembali dan menguatkan pertahanan udara (Iran) yang dihancurkan angkatan udara.”

“Mereka (Iran) mungkin akan menyetujui syarat-syarat yang lebih baik daripada saat perundingan tahun 2015, tetapi sekali lagi mengamankan fasilitas nuklirnya.”

Oren mengatakan Israel sebagai sekutu AS hanya akan menerima perjanjian yang bakal menyingkirkan fasilitas nuklir Iran. Perjanjian seperti itu bisa menjaga kepentingan keamanan Israel.

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved