Senin, 6 Oktober 2025

Konflik Suriah

Putin Prediksi Israel Akan Memperkuat Diri di Suriah: Mereka Untung Besar

Vladimir Putin mengecam pendudukan Israel di Suriah, tapi memprediksi IDF akan memperkuat diri di negara itu.

Foto oleh Jamal Awad/Flash90
Tentara Israel beroperasi di pagar perbatasan sisi Suriah, 15 Desember 2024 - Vladimir Putin mengecam pendudukan Israel di Suriah, tapi memprediksi IDF akan memperkuat diri di negara itu. 

TRIBUNNEWS.com - Presiden Rusia Vladimir Putin bicara soal keberadaan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Suriah.

Menurutnya, Israel diperkirakan telah mengirimkan ribuan pasukan untuk menduduki sejumlah wilayah di Suriah.

Putin bahkan memprediksi Israel bakal memperkuat diri di Suriah, pasca-runtuhnya rezim Bashar al-Assad.

"Saat ini, Israel sudah mengirimkan pasukan tambahan ke sana (Suriah). Saya kita sudah ada beberapa ribu pasukan di sana."

"Saya mendapat kesan, mereka (Israel) tidak akan pergi, mereka akan memperkuat pasukan di sana," ungkap Putin, Kamis (19/12/2024), dalam konferensi pers tahunan di Moskow, dikutip dari Times of Israel.

Meski memprediksi Israel akan memperkuat diri di Suriah, Putin mengecam aksi pendudukan yang dilakukan rezim Zionis itu.

Baca juga: Bendera Israel di Zona Penyangga Suriah Dicabut, PBB: Adanya IDF di Wilayah UNDOF Berdampak Serius

Terlebih, saat ini Israel telah mencapai benteng yang dibangun untuk Suriah oleh bekas Uni Soviet.

"Rusia mengutuk perebutan wilayah Suriah manapun. Ini jelas," tegas dia.

Kendati demikian, Putin menyebut Israel mendapatkan keuntungan besar dari runtuhnya rezim Assad.

Diketahui, setelah rezim Assad tumbang, Israel mengerahkan pasukan ke zona penyangga di sisi Suriah dari garis pemisah perbatasan kedua negara.

Tak hanya itu, Israel juga telah melakukan ratusan serangan udara untuk menghancurkan persenjataan dan peralatan tentara Suriah.

Militer Israel mengklaim serangan itu dilakukan untuk mencegah persenjataan canggih tentara Suriah, jatuh ke tangan musuh.

Netanyahu Ngotot Bakal Tempatkan IDF di Suriah

Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memastikan pasukannya akan tetap berada di zona penyangga perbatasan Suriah yang direbut setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad, tepatnya di puncak Gunung Hermon.

AP melaporkan, Netanyahu berkunjung ke puncak Gunung Hermon pada Selasa (17/12/2024).

Hal ini menjadikannya seorang pemimpin Israel yang masih menjabat, yang telah menginjakkan kaki sejauh itu ke Suriah.

Netanyahu mengatakan ia pernah berada di puncak gunung yang sama 53 tahun lalu, sebagai seorang tentara.

Ia menyebut kedatangannya ke puncak Gunung Hermon, penting bagi keamanan Israel saat ini.

Di kesempatan itu, Netanyahu menegaskan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan tetap berada di puncak Gunung Hermon, sampai kesepakatan yang menjamin keselamatan Israel, bisa dibuat.

"Kami akan tetap tinggal, sampai ditemukan kesepakatan lain yang menjamin keamanan Israel," kata Netanyahu dalam kunjungannya ke puncak Gunung Hermon bersama Menteri Pertahanan, Israel Katz, Selasa.

Katz, di kesempatan yang sama, memerintahkan militer Israel untuk segera memposisikan diri di puncak Gunung Hermon.

Baca juga: AS: HTS Suriah Harus Belajar dari Taliban Afghanistan yang Kini Diisolasi

Ia juga meminta militer Israel untuk segera membangun benteng pertahanan, guna mengantisipasi kemungkinan tinggal dalam waktu lama di tempat tersebut.

"Puncak Hermon adalah mata negara Israel untuk mengidentifikasi musuh-musuh kami yang berada di dekat maupun jauh," ujar Katz.

Seorang pejabat militer Israel, yang berbicara dengan syarat anonim sesuai peraturan, mengatakan tidak ada rencana untuk mengevakuasi warga Suriah yang tinggal di desa-desa dalam zona penyangga.

Sebagai informasi, zona penyangga antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, dibuat oleh PBB setelah Perang Timur Tengah tahun 1973.

Pasukan PBB yang terdiri dari sekitar 1.100 tentara, telah berpatroli di daerah tersebut sejak saat itu.

Terkait keberadaan pasukan Israel di zona penyangga, PBB menyebut tindakan itu telah melanggar kesepakatan tahun 1974 yang membentuk zona tersebut.

Kesepakatan itu "harus dihormati, dan pendudukan adalah pendudukan, entah itu berlangsung seminggu, sebulan, atau setahun, itu tetap pendudukan," komentar Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric.

Belum ada komentar langsung dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang memimpin penggulingan Assad, atau dari negara-negara Arab.

Meski demikian, sehari sebelumnya, Pemimpin HTS, Mohammed al-Julani, telah meminta Israel untuk menghentikan serangan udara dan menarik diri dari wilayah Suriah yang diduduki.

"Pembenaran Israel (menduduki Suriah) adalah karena Hizbullah dan milisi Iran. Pembenaran itu sudah tidak ada lagi," kata al-Julani dalam wawancara eksklusif dengan The Times, Senin (16/12/2024).

Permintaan itu disampaikan al-Julani yang menegaskan pihaknya tak ingin berkonflik dengan pihak manapun.

Ia juga menekankan, tak akan membiarkan Suriah menjadi landasan serangan terhadap Israel ataupun negara manapun.

"Kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai landasaran peluncuran serangan."

"Rakyat Suriah butuh istirahat, dan serangan harus dihentikan. Israel harus mundur ke posisi sebelumnya," tegas dia.

Tumbangnya Rezim al-Assad

Diketahui, rezim Presiden Suriah, Bashar al-Assad, tumbang setelah puluhan tahun berkuasa, Minggu(7/12/2024), ketika ibu kota Damaskus jatuh ke tangan oposisi.

Kelompok oposisi bersenjata terlibat dalam perjuangan panjang dalam upaya menjatuhkan rezim al-Assad, dikutip dari Middle East Monitor.

Setelah bentrokan meningkat pada 27 November 2024, rezim al-Assad kehilangan banyak kendali atas banyak wilayah, mulai Aleppo, Idlib, hingga Hama.

Akhirnya, saat rakyat turun ke jalanan di Damaskus, pasukan rezim mulai menarik diri dari lembaga-lembaga publik dan jalan-jalan.

Sementara, kelompok oposisi mempererat cengkeraman mereka di pusat kota.

Dengan diserahkannya Damaskus ke oposisi, rezim al-Assad selama 61 tahun resmi berakhir.

Al-Assad bersama keluarganya diketahui melarikan diri dari Suriah, usai oposisi menguasai Damaskus.

Rezim al-Assad dimulai ketika Partai Baath Sosialis Arab berkuasa di Suriah pada 1963, lewat kudeta.

Pada 1970, ayah al-Assad, Hafez al-Assad, merebut kekuasaan dalam kudeta internal partai.

Setahun setelahnya, Hafez al-Assad resmi menjadi Presiden Suriah.

Ia terus berkuasa hingga kematiannya di tahun 2000, yang kemudian dilanjutkan oleh al-Assad.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved