Senin, 6 Oktober 2025

Harga tiket pesawat domestik disebut mahal, pengamat beberkan lima penyebab utama di baliknya

Sejumlah pengamat penerbangan menyebut tingginya harga tiket pesawat domestik di Indonesia tak lepas dari "pungutan cukup besar" yang…

BBC Indonesia
Harga tiket pesawat domestik disebut mahal, pengamat beberkan lima penyebab utama di baliknya 

Luhut berpandangan mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia disebabkan karena dampak melonjaknya aktivitas penerbangan pasca-meredanya pandemi.

Karenanya pemerintah menyiapkan beberapa langkah untuk efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket. Semisal bagaimana mengurangi Cost Per Block Hour (CBH) yang merupakan komponen biaya terbesar, lanjut Luhut.

Termasuk, katanya, mengkaji PPN menjadi ditanggung pemerintah untuk beberapa destinasi prioritas.

"Kami juga berencana untuk mengakselerasi kebijakan pembebasan bea masuk dan pembukaan lartas barang impor tertentu untuk kebutuhan penerbangan," sambungnya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Manparekraf) Sandiaga Uno mengatakan pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat domestik sebagai upaya menciptakan harga tiket yang lebih efisien di Indonesia.

Satgas yang dibentuk pada Minggu (14/07) ini terdiri dari beberapa lembaga serta kementerian seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Marves, Kementerian Perhubungan, dan Kemenparekraf.

Mengapa harga tiket pesawat domestik lebih mahal?

Sejumlah pengamat sepakat bahwa harga tiket pesawat domestik lebih mahal daripada harga tiket pesawat ke luar negeri atau internasional.

Jika membedah model bisnis penerbangan, harga tiket pesawat terdiri dari dua komponen, kata pengamat penerbangan Ruth Hana Simatupang dan Alvin Lie.

Pertama, beban biaya yang ditanggung pihak maskapai mulai dari sewa pesawat, pemeliharaan atau perawatan, asuransi, merekrut kru, pelatihan pilot, serta ongkos-ongkos pembelian suku cadang hingga bahan bakar.

Kedua, ada pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, retribusi bandara atau PJP2U, termasuk biaya "titipan" dalam harga avtur seperti throughput fee atau pungutan tiap distribusi avtur oleh pengelola bandara.

Belum lagi kalau di pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma atau Juanda, dikenakan "biaya ganda" dari otoritas bandara dan Danlanud, kata Alvin Lie.

Tetapi, kata Ruth Hana, dari seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai, pengeluaran terbesar adalah bahan bakar avtur sebesar 40% hingga 50%. Kemudian perawatan atau pemeliharaan, sewa pesawat, pelatihan pilot serta kru, dan lainnya.

Untuk pesawat terbang, klaimnya, hampir semua maskapai di Indonesia menyewa ke perusahaan seperti Boeing atau Airbus dengan perantara pihak ketiga atau broker yang berada di luar negeri.

Namun, kata dia, harga sewa pesawat untuk perusahaan maskapai di Indonesia "dibuat mahal" dibanding dengan maskapai negara lain karena penilaian mereka terhadap insiden kecelakaan penerbangan disebut cukup tinggi.

"Mereka enggak mau dong barangnya rusak, makanya harga leasing [sewa] untuk Indonesia selalu lebih mahal," ungkap Ruth.

"[Bedanya] cukup signifikan. Makanya maskapai kita enggak bisa bersaing dengan Air Asia yang tiketnya murah-murah."

Namun demikian Alvin Lie mengatakan seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai itu sebetulnya hanya 60% atau 70% dari keseluruhan harga tiket yang dibayar penumpang.

Pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah, menurutnya, tak kalah besar. Padahal semestinya bisa dipangkas.

"Contoh harga tiket pesawat ke Yogya Rp800.000 itu nanti akan dipotong Rp170.000 untuk bandara. Tinggal Rp630.000 dipotong PPN 11% dan iuran wajib Jasa Raharja."

"Jadi yang masuk ke maskapai cuma Rp540.000."

"Ini yang harus dilihat, mana yang membuat mahal? Harga tiket atau biaya-biaya di luar tiket?"

Belum lagi harga bahan bakar avtur yang disebut Alvin Lie berbeda.

Untuk penerbangan domestik harga avtur dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dan 0,25% oleh BPH Migas. Sedangkan penerbangan internasional tidak dikenakan sama sekali.

Segala pungutan tersebut, menurut dia, harusnya bisa ditinjau kembali jika pemerintah ingin menurunkan harga tiket pesawat domestik.

"Banyak yang bisa dibenahi jadi lebih efisien, maka saya harap Pak Luhit benar-benar cermat dan konsisten jangan nanti beralih pikiran menambah beban biaya," ujar Alvin Lie.

Ruth Hana sependapat.

Biaya retribusi bandara yang selalu naik tiap dua tahun, klaim dia, tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan.

Semisal fasilitas garbarata yang jarang digunakan penumpang ketika pesawat mendarat dan pelayanan bagasi yang disebutnya lambat.

Dia mencontohkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang dinilai menyulitkan.

"Penumpang itu agak malas ke Terminal 3 kalau enggak terpaksa. Karena jalannya jauh banget. Kalau di Hong Kong bandaranya besar, tapi karena semua difasilitasi jadi memudahkan orang untuk bermanuver di bandara," ujar Ruth.

"Di Malaysia dan Singapura, kereta layang bandara ada di dalam bandara. Bukan di luar kayak Soekarno-Hatta, itu yang saya mikir enggak masuk akal."

Apa kata pemerintah?

Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan masing-masing kementerian yang dilibatkan dalam satgas sedang diminta melakukan pembahasan dan kajian lebih detail terkait bidangnya masing-masing.

Adita mengakui selain komponen biaya operasional maskapai seperti avtur, pemeliharaan, sewa pesawat, dan suku cadang, ada pajak-pajak yang diberlakukan kementerian atau lembaga lain sehingga menambah besar harga tiket pesawat domestik.

"Sehingga kami melihat soal tarif ini mesti dibahas lintas sektoral," ujar Adita dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia.

Namun dia tak bisa menjawab ketika ditanya apakah target kerja satgas bakal menurunkan harga tiket pesawat di dalam negeri.

Sebab Kemenhub masih melakukan evaluasi terkait ketentuan mengenai Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB).

Yang pasti, katanya, penurunan harga akan berbanding lurus dengan penurunan komponen tarif termasuk harga avtur, suplai pesawat yang lebih banyak, dan evaluasi terhadap pajak yang diterapkan.

Bagaimana tanggapan maskapai?

Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, mengaku bakal mengikuti apa pun keputusan pemerintah. Jika hasilnya dianggap tidak sesuai, Bayu mengatakan pihaknya akan "memberikan masukan".

Tapi terlepas dari itu, Bayu mengatakan kondisi keuangan maskapai pasca-pandemi masih berdarah-darah alias belum pulih.

Sementara sejak tahun 2019 tidak ada perubahan aturan soal Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Ditambah lagi harga avtur yang disebutnya "sudah lebih tinggi 20% ketimbang Malaysia".

"Kurs dollar juga terus naik, padahal pendapatan dalam rupiah tapi pengeluarannya 80% dalam USD," ujar Bayu kepada BBC News Indonesia.

Itu kenapa, menurut dia, harga tiket pesawat domestik dibilang mahal, sangat relatif tergantung segmen penumpangnya.

Dia menilai jika pemerintah peduli pada penerbangan domestik maka harus meninjau ulang pungutan-pungutan yang dibebankan dalam tiket pesawat penumpang.

Kemudian menghapuskan bea masuk impor suku cadang.

"Jadi intervensi pemerintah di sisi pembentuk harga tadi, misal impor suku cadang dibebaskan dari PPN dan PPH, harga avtur dan iuran, itu diintervensi. Sehingga otomatis harga produksi menjadi wajar."

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved