Kamis, 2 Oktober 2025
Deutsche Welle

Survei: Hampir 50% Warga Percaya Disinformasi Pemilu 2024

Survei opini publik CSIS dan SAIL mengungkap lebih dari 42% orang Indonesia percaya disinformasi seputar pemilu 2024. Informasi salah…

Deutsche Welle
Survei: Hampir 50% Warga Percaya Disinformasi Pemilu 2024 

Semakin mendekatnya pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar Rabu, 14 Februari 2024, lini masa media sosial kian dibanjiri narasi politik dari para kandidat. Informasi politik yang ada di layar gawai melalui media sosial bisa memuat misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Pemilik hak suara juga semakin rentan terhadap gangguan informasi dan percaya pada informasi yang salah. Hal ini terungkap dalam Survei Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024.

Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan bahwa hampir separuh responden yang diteliti oleh CSIS dan Safer Internet Lab (SAIL) masih percaya pada informasi salah, utamanya menyangkut Pemilu 2024.

"42,3% responden percaya pada gangguan informasi pemilu," terang Arya saat pemaparan Rilis Survei Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024, di Jakarta.

CSIS dan SAIL melakukan survei mulai 4 September sampai 10 September 2023 dengan sampel sebanyak 1.320 responden yang tersebar di 34 provinsi, dengan tingkat margin of error sebesar kurang lebih 2,7%, pada tingkat kepercayaan 95%.

Peneliti menguji informasi salah yang sudah terverifikasi sebagai berita salah atau palsu oleh Koalisi CekFakta. Informasi ini kerap dipaparkan secara berulang atau mempunyai pola yang jelas.

Arya pun membeberkan beberapa fakta salah yang ditanyakan kepada responden, seperti adanya pengelabuan jumlah pemilih, anggota KPU tidak netral, surat suara yang sudah dicoblos, pencurian surat suara, KTP palsu dalam pemilu, TKA Cina sebagai pemilih, hingga Pemilu 2024 ditunda.

Arya juga mengatakan bahwa dari hasil survei, penggunaan internet diduga meningkatkan paparan seseorang terhadap informasi sehingga mengalami keberlimpahan informasi. Hal ini memberi peluang lebih kepada seseorang untuk terpapar dan percaya akan gangguan informasi.

Tingginya tingkat kepercayaan terhadap misinformasi bisa berdampak buruk kepada demokrasi dan pemilu. "Mengurangi kepercayaan publik terhadap KPU dan Bawaslu. Mengurangi dukungan publik pada demokrasi," ujar Arya.

Pada kesempatan yang sama, Putri Alam, Direktur Hubungan Pemerintah dan Kebijakan Publik Google Indonesia, mengatakan bahwa sekitar 50 juta penduduk Indonesia terpapar literasi digital. Proses edukasi digital kepada publik memang telah rutin diselenggarakan, baik oleh pihak platform maupun pemerintah, untuk membekali warga sebelum berseluncur di dunia maya.

Disinformasi era post-truth jelang Pemilu 2024

Terkait besarnya jumlah pemilih pemula dari kalangan Gen Z di Pemilu 2024 dan maraknya disinformasi, secara terpisah Wawan Heru Suyatmiko, Wakil Sekjen Transparency International Indonesia, mengatakan bahwa melek teknologi memang penting. Namun, ini harus dibarengi dengan kesadaran politik, yang menurutnya masih merupakan tanda tanya besar di Indonesia.

Pemilih pemula, menurutnya, perlu melek sejarah dan mempelajari rekam jejak tiap kandidat, baik itu untuk presiden, wakil presiden, maupun anggota dewan. Selain itu, ia menegaskan bahwa pemilih pemula juga harus terbuka dengan fakta yang ada, agar bisa terhindar dari mempercayai informasi pascakebenaran atau post-truth. Indonesia pun bisa mengambil pelajaran penting dari pemilu di Filipina mengenai hal ini, kata Wawan.

"Post-truth itu terjadi di Filipina. Ketika Bongbong, Ferdinand Marcos Junior, itu terpilih, mereka menggunakan post-truth, menghapus semua sejarah tentang bagaimana Ferdinand Marcos itu sangat otoriter. Dan benar, karena banyak pemilih pemula kena post-truth, selesai," kata Wawan kepada DW Indonesia.

"Track record itu menjadi penting, fakta sejarah itu menjadi penting. Siapa orang ini? Bagaimana komitmen antikorupsinya, komitmen hak asasi manusianya, komitmen demokrasinya. Komitmen demokrasi itu paling bisa nampak di mana? Di partai yang mengusung dia. Apakah partainya itu dinasti politik atau partainya itu sangat demokratis. Pemilih pemula juga harus mampu menilai, memilih partai yang mana yang demokratis."

"Untuk meng-counter semua post-truth yang ada, Gen Z harus lebih rajin lagi. Karena mereka melek teknologi, ya harusnya sadar politiknya lebih tinggi lagi. Apakah Gen Z mampu menanggung tanggung jawab itu? Harusnya mampu ya," ujarnya.

Pemilih harus bisa kenali deepfake!

Awal Oktober, produsen produk dan perangkat lunak antivirus Kapersky mengeluarkan peringatan akan bahayanya peredaran konten deepfake menjelang pemilu. Deepfake adalah konten video dan suara yang telah dimanipulasi dengan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved