Afganistan: Dua Tahun Taliban Berkuasa, 'Lebih Buruk dari yang Ditakuti'
Ketika perhatian global mulai berkurang, banyak warga Afganistan merasa terabaikan. Dalam dua tahun Taliban kembali berkuasa, banyak…
Pemerintah Amerika Serikat (AS), di bawah mantan Presiden Donald Trump, telah berinisiatif memulai diskusi secara langsung dengan Taliban pada tahun 2018 lalu.
Alema, yang saat ini tinggal di Jerman, percaya bahwa hasilnya akan berbeda, jika pemerintahan Trump melibatkan pemerintahan Presiden Ghani dan para ahli dari warga lokal dalam prosesnya.
Washington dan mitranya melakukan pembicaraan dengan Taliban di ibu kota Qatar, Doha, untuk membuka jalan keluar bagi warga AS di Afganistan, di mana para pejuang Taliban, sejak penggulingan mereka pada tahun 2001, telah memberikan perlawanan bersenjata yang sengit terhadap pemerintah Kabul dan pasukan asing.
Konflik ini telah menelan korban ribuan warga sipil Afganistan dan juga pasukan asing. Pembicaraan dengan Taliban menghasilkan kesepakatan pada tanggal 29 Februari 2020, yang menetapkan jadwal penarikan pasukan AS dan NATO dari Afganistan.
"Perjanjian Februari 2020 itu antara lain menyerukan pembicaraan damai intra-Afganistan, di mana Taliban akan bernegosiasi secara langsung dengan pemerintah Afganistan," kata Alema.
"Kami telah mempersiapkan hal itu. Di Kementerian Perdamaian, saya telah membentuk berbagai kelompok kerja dan mengembangkan pedoman serta langkah-langkah dukungan dengan perwakilan LSM dari 34 provinsi di negara ini," tambahnya.
"Namun, Taliban tidak menunjukkan minat untuk berbicara dengan kami. Mereka tahu bahwa AS akan meninggalkan Afganistan. Mereka tidak mau membuat konsesi. Dan AS telah membuat mereka terlihat rapi, sejalan dengan perubahan yang dilakukan oleh Taliban."
Kesepakatan yang melemahkan semangat Afganistan
Negosiasi secara langsung dengan Amerika Serikat itu telah memberikan pengakuan internasional kepada Taliban. Kelompok itu telah menandatangani kesepakatan dengan AS di Doha, yang seharusnya kesepakatan itu membawa perdamaian untuk Afganistan.
Perjanjian itu justru melemahkan moral tentara Afganistan dan sangat menurunkan semangat perlawanan terhadap pergerakan pemerintah Taliban.
"Apa yang terjadi di Afganistan pada Agustus 2021 itu bukan lah kemenangan militer Taliban, tetapi hasil dari keputusan politik," kata Khushal Asefi, jurnalis dan mantan direktur pelaksana Ariana Radio & Television.
"Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik negosiasi dengan Taliban tersebut. Tampaknya negara-negara Barat telah menarik dukungan mereka terhadap pemerintah saat itu," tambahnya.
Asefi harus meninggalkan Afganistan sesaat setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, karena dia tidak lagi melihat masa depan dirinya sendiri di sana dan takut akan hidupnya di sana.
"Perkembangan dalam dua tahun terakhir ini memperkuat bahwa negara ini telah diserahkan kepada Taliban. Sepertinya tidak peduli seberapa besar kekacauan yang mereka timbulkan," katanya.
"Mungkin, pernyataan kritis diterbitkan hanya untuk mengutuk kebijakan-kebijakan Taliban. Masyarakat Afganistan mengalami demoralisasi dan kelelahan. Perekonomian menurun dan lebih dari 20 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Para warga berjuang keras untuk bertahan hidup," ungkap Asefi.
Arwin, aktivis hak-hak perempuan, juga menekankan masalah yang melanda masyarakat Afganistan selama dua tahun terakhir. Arwin mengatakan bahwa, "banyak yang hanya memikirkan bagaimana cara untuk meninggalkan negara ini."
"Saya kecewa karena masyarakat dunia dan warga Afganistan menyerah begitu cepat. Ini lebih buruk dari yang saya takutkan. Namun, masyarakat sipil Afganistan masih memiliki alasan yang kuat untuk tidak pernah menyerah. Inti ini tidak boleh diremehkan. Saya sangat percaya pada kekuatan kami." (kp/pkp)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.