Selasa, 7 Oktober 2025

Spider-Verse: Inikah film adaptasi buku komik terbaik?

Tim pembuat film dan seniman dalam dua film Spider-Verse bekerja sama untuk menghidupkan dinamisme buku komik di layar perak.

Di tengah terpukaunya banyak penonton bioskop atas sekuel Spider-Man: Across the Spider-Verse, penulis BBC Culture, Kambole Campbell, memaparkan bagaimana film superhero ini benar-benar menghormati materi sumbernya.

Film baru Spider-Man: Across the Spider-Verse muncul dalam lanskap sinematik yang agak berbeda dari film pendahulunya, Spider-Man: Into the Spider-Verse, lima tahun lalu.

Untuk yang belum tahu, film animasi Spider-Man ini menempatkan pahlawan utamanya, Miles Morales, di dalam dunia "multiverse" dengan berbagai wujud Spider-Man.

Walau multiverse baru muncul pada 2018, konsep itu cukup sering dihadirkan dalam film yang diangkat dari komik, khususnya film-film Marvel Cinematic Universe. Tapi para pembuat film belajar dari kesalahan Spider-Man: Into the Spider-Verse.

Dalam film terbaru, mereka memanfaatkan konsep multiverse untuk menampilkan berbagai inkarnasi karakter Spider-Man yang dapat dipasangkan bersama sesuka hati. Pada saat bersamaan, film baru ini menampilkan daya pikat Spider-Verse sesungguhnya, yaitu wujud visual yang unik dari komik superhero, menjadi bahasa visual yang segar.

Dalam Spider-Verse, multiverse berarti kesempatan untuk melanggar beberapa aturan, alih-alih menyesuaikan diri dengan formula tertentu.

Baca juga:

Film pertama menonjol karena cara sutradara Peter Ramsay, Rodney Rothman, dan Bob Persichetti menampilkan dunia Miles, gaya segar yang lahir dari penggabungan teknik animasi tradisional dan seni komik ke dalam teknologi baru. Kemunculannya yang kerap mengeluarkan elemen-elemen ini membuat Miles Morales, karakter yang relatif baru dalam buku komik Marvel, terasa selalu ada dari dulu dan setiap bagiannya sama ikoniknya dengan Peter Parker.

Ketika film superhero lain mungkin mengambil sebuah cerita dan mungkin satu atau dua komposisi terkenal dari bahan sumber grafis, tim pembuat film dan seniman dalam dua film Spider-Verse bekerja bersama untuk menghidupkan dinamisme buku komik.

Film Spider-Verse pertama mendapat pujian karena kombinasi bahasa animasi dan film sehingga tampak seperti isi buku komik. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam penggunaan efek suara tertulis di layar, seperti suara Spider-Man klasik "thwip!". Atau "kartu meledak" - gambar 2D yang muncul di tengah aksi untuk menekankan sesuatu. Saat-saat seperti itu terasa tertunda sebentar, seperti sedang mengamati panel seni menjadi hidup dan meledak di layar lebar.

Sangat jarang melihat film buku komik benar-benar menggunakan tekstur dan kualitas cetak yang taktil; banyak yang mencatat penggunaan halftone, Ben-Day dots dan "Kirby Krackle" (kumpulan titik pertama kali digunakan oleh seniman buku komik terkenal Jack Kirby untuk menyiratkan energi kosmik).

Dalam sejumlah wawancara, Justin K Thompson – desainer produk Into the Spider-Verse, sekarang salah satu sutradara Across the Spider-Verse – menyoroti animasi dari visual cetak yang tidak sempurna. Contohnya adalah ketika terdapat ketidaksesuaian warna akibat proses cetak empat warna.

Berkat kerja tim seniman dan animator yang sangat besar (berjumlah lebih dari 1.000 orang), Across the Spider-Verse menggandakan kelebihan sensorik film pertama yang menggembirakan, bereksperimen secara visual serta narasi cerita Spider-Man yang bisa ditampilkan di layar.

Setiap elemen formal dari film sebelumnya bahkan lebih menonjol, seperti cara beberapa karakter dianimasikan "berdua" - 12 bingkai per detik waktu layar – alih-alih "satu" - pada 24 bingkai per detik, yang merupakan standar animasi 3D. Penundaan sangat kecil yang dihasilkan di antara bingkai menciptakan efek yang terasa seperti gerakan membalik halaman.

Halaman
12
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved