Warga adat: Upaya perlindungan dari pemerintah lamban, baru 0,6% hutan adat yang ditetapkan
Sidang gugatan warga adat terhadap dasar hukum proyek ibu kota baru mulai disidangkan. Konflik lahan seperti ini diyakini menimpa banyak komunitas
"Jika merujuk Nawacita, salah satu yang disebut adalah pemulihan hak masyarakat adat terkait hutan. Implementasinya jauh dari harapan," ucap Arman.
"Kalau dibandingkan dengan capaian skema perhutanan sosial lain, misalnya hutan tanaman rakyat, luasnya sudah jutaan sedangkan hutan adat hanya beberapa puluh ribu.
"Dengan cara kerja hari ini, butuh berapa ratus tahun untuk menetapkan hutan adat di wilayah Indonesia? Sebelum seratus tahun pun hutan itu sudah habis karena ekspansi perkebunan dan pertambangan," ujarnya.
Hingga Maret 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan 89 surat keputusan berisi pengakuan terhadap hutan adat. Luas hutan adat milik 89 komunitas itu mencapai 89.783 hektare.
Angka itu hanya 0,65 persen dari potensi hutan adat yang dicatat kelompok advokasi sipil, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yakni sekitar 13,76 juta hektare.
Kepala BRWA, Kasmita Widodo, menyebut penetapan hutan adat mesti didasarkan pada sejumlah syarat utama. Salah satunya, kelompok adat itu harus diakui secara hukum melalui peraturan daerah.
Namun Kasmita menyebut pemerintah ternyata belum kunjung menetapkan banyak hutan adat meski berbagai syarat telah terpenuhi.
"Dalam beberapa pertemuan dengan lembaga negara, kami mengusulkan 27 lokasi prioritas untuk hutan adat tapi sampai saat ini baru tiga hutan adat yang diakui," ujarnya.
"Ada sekitar 1 juta hektare wilayah yang sudah lengkap peraturan daerahnya, memiiki surat keputusan pengakuan masyarakat adat, tapi verifikasi KLHK baru dilakukan untuk tiga hutan adat," kata Kasmita.
Apa jawaban pemerintah?
Pemerintah telah berupaya mempercepat penetapan berbagai hutan adat, kata Yuli Prasetyo, Kepala Subdit Pengakuan Hutan Adat KLHK.
Yuli berkata, lembaganya telah mengubah sejumlah peraturan menteri untuk meringkas prosedur. Salah satu yang dipermudah, kata dia, pemda dan DPRD tidak perlu lagi menerbitkan satu perda untuk satu kelompok adat.
Namun strategi itu disebutnya belum cukup karena persoalan ini juga melibatkan kewenangan kementerian dan lembaga negara lain.
"Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kami sangat bergantung pada Peraturan Menteri Dalam Negeri 52/2014 tentang pengakuan masyarakat hukum adat," kata Yuli.
"Dalam proses pengakuan hutan adat, kami berada di ujung dan mengurus objeknya, sedangkan kewenangan mengakui masyarakatnya berjenjang, ada di kabupaten, provinsi, bahkan membutuhkan peraturan pemerintah jika wilayah adatnya lintas provinsi," ucapnya.